Pada risalah yang lalu, “Kepada Apa Kita
Menyeru Manusia?” kami telah menjawab pertanyaan yang banyak dilontarkan orang.
Setiap kali mereka diajak untuk mendukung jamaah Ikhwanul Muslimin, mereka
selalu bertanya, “Kepada apa jamaah Ikhwanul Muslimin menyeru?” Pada risalah
yang lalu itulah saya harus menjawab dan menjelaskan dasar-dasar dakwah ini
dengan jawaban tuntas yang dapat memuaskan hati orang-orang yang bertanya
tersebut. Secara global, saya telah jawab dengan menerangkan prinsip-prinsip
dakwah ini pada risalah yang pertama, kemudian saya merincinya pada risalah
selanjutnya. Dengan demikian, maka tidak ada lagi alasan bagi orang yang ingin
mengenal secara global maupun rinci tentang hakikat dakwah Ikhwanul Muslimin,
untuk mengatakan bahwa dia tidak tahu.
Ada lagi pertanyaan yang tersisa, yang
banyak dilontarkan orang ketika diajak memberikan dukungan kepada jamaah ini;
yang beraktivitas siang dan malam tanpa mengharapkan balasan dan ucapan terima
kasih dari siapa pun, kecuali hanya dari Allah. Mereka pun tidak menyandarkan
langkah-langkahnya, kecuali kepada dukungan dan pertolongan-Nya, karena ‘tidak
ada kemenangan kecuali dari sisi-Nya’. Pertanyaan tersebut, yang sering
dilontarkan dengan nada sinis, adalah: Apakah jamaah ini merupakan jamaah
aktif, dan kadernya adalah para aktivis?
Orang yang bertanya ini adalah salah satu
dari orang-orang dengan tipe berikut:
Seorang pengumbar hawa nafsu yang
perangainya destruktif, yang ketika melontarkan pertanyaan ini bertujuan hanya
untuk membuat kekacauan di tubuh jamaah dan prinsip pemikirannya, serta para
pendukungnya yang tulus. Ia tidak menganut agama, jika tidak mendapatkan
keuntungan pribadi. Ia tidak peduli dengan urusan orang lain, kecuali jika
menguntungkan dirinya.
Seorang pribadi yang lalai akan dirinya sendiri dan terhadap orang lain. Ia tidak memiliki tujuan hidup, tidak memiliki prinsip pemikiran, dan tidak pula aqidah.
Mungkin ia adalah sisik yang hobinya bersilat lidah dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang indah-indah agar dianggap sebagai orang ‘berisi’, meski kenyataannya ‘tong kosong berbunyi nyaring’ dengan perilakunya, ia ingin membersitkan kesan di benak kalian bahwa dirinya adalah sosok pencinta amal. Ia senantiasa berusaha membersitkan kesan itu, namun tidak pernah menemukan jalan. Ia menyadari betul kebohongan dirinya dengan lontaran kata-katanya itu, dan itu dilakukan hanya untuk menutupi kelemahannya.
Mungkin ia seorang yang tengah berupaya untuk melemahkan semangat orang-orang yang menyeru dakwah, agar-dengan lemahnya semangat itu-ia punya alasan untuk menampik seruannya, untuk merespon secara dingin, dan akhirnya berpaling dari amal jama’i.
Seorang pribadi yang lalai akan dirinya sendiri dan terhadap orang lain. Ia tidak memiliki tujuan hidup, tidak memiliki prinsip pemikiran, dan tidak pula aqidah.
Mungkin ia adalah sisik yang hobinya bersilat lidah dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang indah-indah agar dianggap sebagai orang ‘berisi’, meski kenyataannya ‘tong kosong berbunyi nyaring’ dengan perilakunya, ia ingin membersitkan kesan di benak kalian bahwa dirinya adalah sosok pencinta amal. Ia senantiasa berusaha membersitkan kesan itu, namun tidak pernah menemukan jalan. Ia menyadari betul kebohongan dirinya dengan lontaran kata-katanya itu, dan itu dilakukan hanya untuk menutupi kelemahannya.
Mungkin ia seorang yang tengah berupaya untuk melemahkan semangat orang-orang yang menyeru dakwah, agar-dengan lemahnya semangat itu-ia punya alasan untuk menampik seruannya, untuk merespon secara dingin, dan akhirnya berpaling dari amal jama’i.
Golongan yang manapun dari mereka itu, jika
Anda menemuinya di jalan lalu Anda jelaskan padanya manhaj amal yang produktif,
Anda tuntun mata-telinga, akal pikiran, dan tangannya menuju jalan yang benar,
niscaya mereka akan berpaling juga dalam keadaan bingung, jiwanya guncang,
bibirnya gemetar untuk berbicara, geraknya meragukan, dan diamnya pun tampak
salah tingkah. Ia lalu menyampaikan kata-kata ‘maafnya’ dan meminta kesempatan
di waktu yang lain saja. Akhirnya, ia pun menghindar darimu dengan seribu satu
alasan. Itu semua dilakukan setelah ia-dengan gigihnya-berdiskusi denganmu
berlama-lama, dan setelah itu-engkau lihat, ia bahkan merintangi jalan dengan
congkaknya.
Perumpamaan mereka itu seperti sepotong
cerita bahwa ada seseorang yang dengan semangatnya menghunus pedang, tombak,
dan senjata lainnya. Setiap malam ia pandangi senjata-senjata itu dengan
gerakan geram karena tidak kunjung menemui musuhnya untuk bias menunjukkan
keberanian dan kepahlawanannya. Suatu saat, istrinya ingin menguji
kesungguhannya. Dibangunkanlah ia pada tengah malam sembari memanggilnya dengan
nada meminta bantuan, “Bangunlah pak, kuda-kuda perang telah mendobrak pintu
rumah kita.” Seketika ia terbangun dalam keadaan gemetaran dan wajahnya pucat
pasi sambil bergumam ketakutan, “Kuda perang, kuda perang …” Hanya itu yang ia
ucapkan, tidak lebih. Ia bahkan tidak berusaha untuk membela diri. Tatkala
waktu pagi tiba, hilanglah akal sehatnya karena ketakutan yang amat sangat dan
terbanglah pula nyalinya, padahal ia belum terjun ke medan perang secara nyata
dan belum menjumpai seorang musuh pun.
Seorang penyair bertutur:
Kalaupun seorang pengecut tinggal sendiri di
bumi
Ia ‘kan menantang tombak dan peperangan
Ia ‘kan menantang tombak dan peperangan
Allah swt. Berfirman,
“Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang menghalang-halangi kamu dan orang-orang yang berkata kepada saudara-saudaranya, ‘Marilah kepada kami.’ Dan mereka tidak mendatangi peperangan melainkan sebentar. Mereka bakhil terhadapmu, apabila datang ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam., sedangkan mereka bakhil untuk berbuat kebaikan . mereka itu tidak beriman, maka Allah menghapuskan (pahala) amalnya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Ahzab: 18-19)
“Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang menghalang-halangi kamu dan orang-orang yang berkata kepada saudara-saudaranya, ‘Marilah kepada kami.’ Dan mereka tidak mendatangi peperangan melainkan sebentar. Mereka bakhil terhadapmu, apabila datang ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam., sedangkan mereka bakhil untuk berbuat kebaikan . mereka itu tidak beriman, maka Allah menghapuskan (pahala) amalnya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Ahzab: 18-19)
Untuk orang-orang seperti ini kita tidak
perlu memberi komentar. Kita tidak perlu menjawab mereka, kecuali dengan
kata-kata, “Semoga keselamatan atas kalian dan kami tidak membutuhkan
orang-orang jahil.” Bukan untuk mereka kita menulis dan bukan kepada mereka dan
kita berbicara. Kita telah lama berharap kebaikan untuk mereka dan kita telah
tertipu oleh mulut manisnya suatu waktu, lalu terbukalah kedok mereka dan
terungkaplah apa yang ada di balik kata-katanya itu. Kita melihat beragam sosok
dan kelompok mereka yang membuat hati ini semakin tidak cenderung kepadanya dan
tidak sekali-kali akan menyerahkan urusan kepada mereka, meskipun sepele.
Ada lagi kelompok lain: sedikit jumlahnya,
tetapi besar kesungguhannya; langka bilangannya, tetapi diberkati dan
dilindungi oleh Allah. Mereka bertanya kepadamu dengan pertanyaan serupa ketika
diajak untuk mendukung dan bergabung dengan jamaah ini, namun dengan hati yang
tulus. Mereka adalah orang-orang yang hatinya telah dipenuhi dengan kerinduan
untuk berbuat, sehingga kalau saja mengetahui jalan untuk itu, mereka pasti
terjun seketika. Mereka adalah para mujahid, namun tidak kunjung menjumpai
medan jihad yang dapat membuktikan kepahlawanannya. Mereka telah banyak
berinteraksi dengan berbagai kelompok dan telah pula mengkaji berbagai lembaga
dan organisasi dakwah, namun tidak menjumpai sesuatu yang memuaskan hatinya.
Jika saja mereka menjumpai apa yang mereka inginkan di sana, mereka pasti
menempati posisi di barisan pertama dan menjadi bagian dari para aktivis yang
tekun.
Kelompok ini telah hilang dan sedang dinanti
kedatangannya. Saya yakin sepenuhnya, jika saja seruan ini terdengar olehnya
dan sampai di hatinya, mereka pasti akan menjadi salah satu dari dua golongan:
golongan aktivis atau-paling tidak-golongan simpatisan; dan tidak mungkin
menjadi yang ketiga. Mereka, kalaupun tidak mendukung fikrah ini, tidak akan
pernah sekali-kali menjadi musuhnya. Untuk kelompok inilah kita menulis, kepada
merekalah kita berbicara, dan bersama merekalah kita saling memahami. Allah
swt. Sendirilah yang memilih tentara-tentara-nya dan menyeleksi para aktivis dakwah-Nya.
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi
petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada
orang yang dikehendaki-Nya.” (Al-Qashash:56)
Mudah-mudahan kita sepakat akan apa-apa yang
kita inginkan Allah swt. Berfirman dengan kebenaran dan hanya Dialah petunjuk
jalan.
Kepada Putra-Putra Islam Yang Penuh
Semangat
(Dimuat oleh harian Ikhwanul Muslimin, Edisi
XV, 6 Jumadil Ula 1353 H)
Kepada kelompok ini, yang berkepribadian
mulia, yang berhati jernih, yang bercita-cita tinggi, yang berjiwa terhormat,
yang cinta bekerja, dan menjadi tumpuan harapan, dimana seorang penyair telah
putus asa mendapatkan orang semacamnya:
Telah sekian lama ‘ku bergaul dengan banyak
orang
pengalaman demi pengalaman menempaku
tiada hari datang kepadaku
kecuali menyenangkan di jumpa-jumpa pertama
namun menyakitkan jua di akhirnya
pengalaman demi pengalaman menempaku
tiada hari datang kepadaku
kecuali menyenangkan di jumpa-jumpa pertama
namun menyakitkan jua di akhirnya
kami katakan, “Kalian kini berada di hadapan
seruan dakwah yang baru. Kaum muda menyeru kalian untuk bekerja bersama mereka
dan bergaul dengannya untuk menuju suatu tujuan, yang ia adalah cita-cita
setiap muslim dan harapan setiap mukmin. Adalah hakmu bertanya tentang sejauh
mana persediaan sarana operasional jamaah. Dan kewajibanmu pula untuk
mengetahui lebih dalam terhadap apa yang diserukan kepadamu.
Saya merasa kagum akan kejujuran dan
ketulusan mereka untuk bergabung dengan jamaah kita. Mereka minta penjelasan
terhadap setiap kata dan setiap ungkapan kepada saya. Mereka mengkonsultasikan
setiap sarana yang dipergunakan, hingga jika sudah merasa puas, mereka segera
menyampaikan pesan-pesannya dengan keyakinan yang bulat, jelas maksudnya, dan
riil pula dampaknya. Mereka senantiasa bekerja dengan kesungguhan yang penuh
hingga saat ini, dan saya berharap akan terus begitu dengan izin Allah. Namun
demikian, saya mempunyai beberapa catatan untuk mereka, antara lain:
Daripada mereka membuang waktu untuk
berbagai pertanyaan ini, bukankah lebih baik jika bergabung saja dan bekerja
dengan jamaah? Jika mereka melihat kebaikan di sana, itulah yang semestinya.
Namun jika tidak, maka jalan untuk keluar dan melepaskan diri dari Jamaah ini
demikian jelas membentang, apalagi pintunya ada di dua tempat: tempat masuk dan
tempat keluar. Aktivitas jamaah begitu jelas, tidak ada yang tersembunyi dan
tidak misterius. Dahulu ada cerita bahwa para ahli nahwu berselisih pendapat
tentang jumlah bait Alfiyah (pelajaran nahwu yang dipuitisasikan) Ibnu Malik.
Perselisihan ini telah memancing perdebatan serius yang justru tidak
mendatangkan manfaat, hingga akhirnya datanglah salah seorang tokoh dengan membawa
bukunya dan berkata, “Inilah dia, hitunglah dan sepakatlah.” maka dengan itulah
perselisihan bisa diselesaikan.
Inilah Jamaah Ikhwanul Muslimin, wahai
sahabatku. Di setiap tempat, ia menyeru orang dan membuka pintu lebar-lebar
sembari berkata, “Marilah, jika Anda lihat sesuatu yang menyenangkan hati, maka
bergabunglah bersama dengan berkah Allah. Jika tidak melihat yang demikian,
maka berkatalah sebagaimana yang dikatakan Basyar:
Jika suatu negeri mengingkari
Atau aku mengingkarinya
Aku pun segera keluar bersama burung-burung
Dan penduduknya
Atau aku mengingkarinya
Aku pun segera keluar bersama burung-burung
Dan penduduknya
Tidakkah mereka tahu bahwa jamaah itu tiada
lain adalah sekumpulan individu yang terikat? Jika setiap individu bertanya
dengan pertanyaan “Maka di manakah jamaah itu sebenarnya?” ini adalah tipuan
logika belaka yang banyak diikuti orang. Jika Anda ingin mengenalkan kursi
misalnya, Anda akan mengatakan bahwa ia adalah benda yang terdiri dari tiga
unsur tempat duduk, sandaran dan empat buah kaki. Akan tetapi, tahukah Anda
bahwa definisi ini adalah tidak benar dan menipu? Kenapa demikian, karena
apakah benda itu sesuatu yang ada di luar ketiga unsur tersebut? Jika Anda
pisahkan kursi itu dari kaki-kakinya, tempat duduk, dan sandarannya, apakah
masih ada sebuah benda yang bisa diidentifikasi sebagai kursi?
Demikian juga, orang banyak tertipu dalam
memahami hakikat jamaah dan individu. Mereka mengira bahwa jamaah itu sesuatu
sedangkan individu adalah sesuatu yang lain. Padahal jamaah itu tidak lain
kecuali kumpulan dari individu-individu, dan individu-individu itu adalah komponen
bangunan jamaah itu sendiri. Apabila komponen bercerai-berai dan setiap mereka
bertanya dengan pertanyaan “Lalu di mana jamaah itu?” siapa yang bertanya dan
siapa yang ditanya? Kita sering memahami secara keliru seperti demikian ini
disebabkan oleh kebiasaan kita bersikap kurang bertanggung jawab; kita
menimpakan beban tanggung jawab hanya pada pundak seseorang. Berikutnya
lahirlah sikap masa bodoh, tidak tahan uji menghadapi keadaan, dan tidak
kunjungan melangkah lebih maju.
Kami serukan kepada para putra Islam yang
memiliki semangat bahwa seluruh jamaah Islam di masa kini sangat membutuhkan
munculnya pribadi aktivis sekaligus pemikir dan anasir produktivitas yang
pemberani. Maka haram hukumnya bagi orang semacam ini untuk tertinggal dari
kafilah dakwah, meskipun sesaat. Dan tidakkah mereka memahami bahwa hendaknya
mereka segera bergabung dengan jamaah ini. Jika mereka menjumpai bahwa jamaah
ini adalah jamaah yang aktif sebagaimana mestinya, maka berbahagialah. Namun
jika mereka tidak menjumpai yang demikian itu, tunjukkan kepribadian dan
kekuatan pengaruhnya untuk membangun sesuatu yang seharusnya ada. Kalau
ternyata apa yang mereka upayakan tidak bisa diterima, mereka telah mendapatkan
pemakluman dari Tuhan dan dirinya. Apalagi jika orang-orang yang menyeru dakwah
ini adalah kaum yang mengetahui bahwa di atas orang yang memiliki pengetahuan
dan Dzat yang Mahatahu, dan bahwa setiap orang yang memiliki pendapat berhak
menyampaikan pendapatnya. Lihatlah Rasulullah saw. Jika dibanding dengan
manusia seluruhnya, pendapatnya adalah sebenar-benar pendapat dan pemikirannya
adalah sematang-matang pemikiran, namun ia mengambil juga pendapat Hubaib ra
saat perang Badar dan pendapat Salam saat perang Khandak. Mereka tentu saja
sangat bahagia, karena ada yang mengambil pendapatnya untuk suatu pekerjaan
yang benar.
Tidakkah mereka mengetahui bahwa jika mereka
telah mencoba sekali, dua kali, atau lebih dari itu, namun belum juga berhasil,
janganlah putus asa. Mereka harus ‘memainkan bola’ terus-menerus sehingga
menciptakan ‘gol’ pada saatnya. Jika mereka tergesa-gesa dan cepat putus asa,
hilanglah kesempatannya untuk memperoleh keberuntungan itu.
Hal ini persis sebagaimana kisah seorang
pemburu ikan. Suatu saat ia mendapat ikan yang besar. Lalu ia melihat di dasar
air itu ada rumah karang yang disangkanya mutiara. Demi melihat itu,
ditinggalkanlah ikan yang sudah di tangan untuk mengambil rumah karang. Ketika
ia melihat dari dekat, hatinya menyesal. Kemudian ia melihat ikan kecil membawa
mutiara, namun ia tidak mengacuhkannya karena disangka rumah karang. Akhirnya
ia hanya mendapatkan ikan kecil, serta kehilangan ikan besar dan mutiara,
sesuatu yang berlipat-lipat lebih berharga, atau seperti seekor itik di suatu
danau. Ia melihat bayangan di dasar air yang disangkanya ikan. Ia berusaha
menjulurkan paruhnya untuk mendapatkannya. Ia mematuknya berkali-kali hingga
kecapaian lalu ditinggalkan dengan perasaan marah. Sejenak kemudian berlalulah
ikan di hadapannya. Ia acuh tak acuh karena menganggapnya bayangan. Lalu ia pun
meninggalkannya. Dengan begitu ia merugi dan kehilangan kesempatan berharga dan
sirnalah pula harapannya.
Inilah beberapa catatan, yang perlu saya
sampaikan kepada orang-orang yang ingin beraktivitas dalam Islam dari kalangan
putra-putranya. Saya pikir ini patut direnungkan dalam-dalam. Kami serukan
dakwah Ikhwanul Muslimin ini kepada mereka. Hendaklah mereka mencoba bergabung
dengannya. Jika mereka mendapati kebaikan, dukunglah dan jika mendapati
kebengkokan, luruskanlah. Jangan sampai percobaan mereka menjadi penghalang
bagi kemajuan bersama. Saya berharap mereka menyaksikan pada diri Ikhwan
pemandangan yang menentramkan hati, insya Allah. Saya akan menyampaikan lagi
sebagian keterangan pada kesempatan mendatang.
Yayasan-Yayasan Dan Proyek-Proyek
Pemikiran Ikhwanul Muslimin telah tersebar
di lebih dari lima puluh wilayah di Mesir. Di setiap wilayah tersebut, Ikhwan,
Mendirikan proyek-proyek amal dan lembaga-lembaga sosial. Engkau, dapat
menyaksikan, di Ismailiyah telah dibangun masjid dan gelanggang Ikhwanul Muslimin.
juga dibangun lembaga pendidikan Islam Hira’ untuk anak-anak, dan sekolah untuk
kaum ibu muslimah dalam rangka memberi bekal kepada mereka bagaimana mendidik
putra putrinya.
Di Syibrakhit juga didirikan masjid Ikhwan,
gelanggang olah raga, dan ma’had (lembaga pendidikan) Hira’ dalam satu
kompleks. Di sebelah kompleks yang besar itu dibangun gedung latihan yang
diperuntukkan bagi siswa-siswa ma’had yang tidak bisa menyelesaikan pendidikan.
Jamaah ini membekali mereka dengan berbagai keterampilan. untuk mencetak tenaga
trampil yang berwawasan dan pekerja yang bermoral.
Di Mahmudiyah Al-Buhaira didirikan proyek
seperti itu pula, Di sana dibangun pabrik tenun untuk memproduk karpet,
sajadah, dan yang semacamnya, persis di sebelah ma’had Tahfizhul Qur’an yang
bertempat di gelanggang Ikhwanul Muslimin. Ma’had Tahfizhul Qur’an telah
mengeluarkan banyak alumnus, padahal waktu berdirinya belum terlalu lama.
Lihatlah, para penghafal Qur’an yang lihai bermunculan dalam waktu yang relatif
singkat, di mana hanya sedikit saja dari lembaga pendidikan yang ada yang dapat
menghasilkan serupa itu.
Rasanya tidak perlu saya tuliskan satu
persatu, yang jelas bahwa setiap cabang Ikhwanul Muslimin hampir di seluruh
wilayah Mesir telah mendirikan berbagai proyek sosial, dari Adfoo hingga
Iskandariyah.
Di banyak yayasan Ikhwan, kita dapati
lembaga yang menangani kerja sosial di bidang advokasi. Dengan izin Allah,
Ikhwan dapat menyelesaikan berbagai kasus dengan segera, yang jika ditangani
oleh lembaga hukum pemerintah akan membutuhkan waktu yang lama.
Ada lagi lembaga yang bergerak di bidang
santunan sosial, khususnya kepada para fakir miskin di hari-hari raya. itu
semua untuk meringankan beban mereka di satu sisi dan untuk ikut membentengi
mereka dari upaya licik kelompok zeding (Kristenisasi) di sisi yang lain.
Banyak juga lembaga Ikhwan yang aktif di
bidang; penerangan dan konseling yang bergerak di tempat-tempat yang belum atau
tidak tersentuh oleh aktivitas tersebut, seperti warung-warung kopi,
gelanggang-gelanggang umum, tempat-tempat pesta, dan forum-forum upacara
kematian.
Di banyak tempat, khususnya daerah
perkampungan, Ikhwan juga mendirikan lembaga yang bergerak di sektor pelayanan
umum, seperti: pembangunan masjid, pembersihan jalan, penetangan gang-gang,
pengadaan puskesmas keliling, dan usaha-usaha lain yang mendatangkan
kemaslahatan bagi masyarakat, baik untuk urusan dunia maupun agamanya,
Di tempat lain didirikan pula lembaga yang
bekerja untuk memerangi tradisi yang rusak dan kebodohan yang merajalela,
terutama di tempat-tempat yang jauh dari lingkungan ilmiah Pada saat yang
bersamaan didirikan pula lembaga untuk menghidupkan sunah dan kewajiban agama
yang secara praktek telah banyak dilupakan orang, meskipun secara teori masih
banyak diketahui seperti mengumpulkan zakat biji-bijian yang disimpan di tempat
khusus lalu membagikannya-dengan sepengetahuan jamaah-kepada orang-orang yang
berhak menerimanya (tanpa tujuan mempengaruhi), sebagaimana yang dilakukan
Ikhwan di wilayah Barambal beberapa waktu yang lalu.
Di Kairo didirikan pula koran mingguan
Ikhwanul Muslimin yang disusul kemudian dengan berdirinya percetakan milik
Ikhwan. Semua itu dapat terwujud dalam kurun waktu kurang dari setahun.
Jamaah Ikhwan juga memberi perlindungan
kepada kaum fakir miskin dari pengaruh misionaris akhir-akhir ini. Maka
rumah-rumah Ikhwan pun menjadi tempat penampungan mereka, lembaga-lembaga
latihan Ikhwan memberi bimbingan kepada mereka, dan sekolah-sekolah Ikhwan pun
siap mendidik mereka. Para pengurus lembaga memberi peringatan kepada
masyarakat akan bahayanya para misionaris yang sesat itu. yang selalu
mengelabui mereka dengan aqidahnya dan sibuk menyesatkan orang-orang yang lemah
dan fakir miskin.
Itulah beberapa dampak kongkret aktivitas
Ikhwanul Muslimin. Saya tidak perlu lagi menyebutkan berbagai majelis ta’lim
ceramah, diskusi, serta kunjungan dan wisata, yang semua ini biasanya dikenal
dengan istilah dakwah bil lisan. Kami pernah mengatakan bahwa kami telah lelah
berbicara dan telah bosan berpidato. Kini tinggallah kami berbuat sesuatu yang
nyata,
Engkau barangkali terkejut ketika mengetahui
bahwa Ikhwanul Muslimin, dalam melakukan kerja raksasa ini, tidak meminta
bantuan dana dari pemerintah maupun pihak lain, kecuali 500 junaih (mata uang
Mesir) yang pernah disumbangkan oleh Koperasi Terusan Suez untuk membantu
pembangunan masjid dan sekolah di Ismailiyah.
Banyak orang menduga-sebagian dugaan adalah
perbuatan dosa-dan berkata tentang Ikhwan dengan sesuatu yang mereka sendiri
tidak tahu. Namun, semua itu tidak menjadi masalah bagi kami dan cukuplah bagi
kami bahwa Allah swt. mengetahuinya. itu semua karena limpahan taufiq dan
hidayah-Nya dan bahwa harta itu adalah harta khusus anggota Ikhwan, yang
diberikan dengan hati yang tulus ikhlas. Maka diberkatilah harta itu dan
datanglah buahnya setiap saat dengan seizin Tuhannya, Cukuplah kami katakan
kepada setiap orang dan semua pihak di mana pun ia berada dengan terus-terang
bahwa Ikhwanul Muslimin tidak membiayai proyek-proyeknya selain dengan iuran
para anggotanya. Dengan begitulah mereka eksis dan semakin percaya diri.
Sementara para anggota mendapatkan kenikmatan tersendiri dengan pengorbanan di
jalan Allah itu.
Barangkali Anda juga heran ketika mengetahui
bahwa kontribusi finansial kepada Ikhwanul Muslimin bersifat suka rela, bukan paksaan,
sehingga barangsiapa tidak mampu memberikannya kepada jamaah tidak dikurangi
sedikit pun hak-hak ukhuwahnya. Meskipun hal ini jelas-jelas tertuang dalam
teks Anggaran Dasar jamaah, namun para anggota Ikhwan senantiasa berlomba-lomba
untuk berqurban di jalan Allah jika diseru untuk itu. Dengarlah sebuah kisah di
tengah pembangunan masjid di wilayah islamiyah Ketika salah satu ketua kelompok
jamaah memberikan himbauannya kepada anggota untuk berinfaq, berdirilah salah
seorang dari mereka yang profesinya adalah buruh pabrik. Ia berjanji akan
menyumbang 1.5 junaih (mata uang Mesir) tiga hari kemudian. Akan tetapi, ia
hanyalah buruh pabrik yang miskin, dari mana ia mendapatkan uang sebanyak itu?
Sebenarnya ia ingin meminjam dahulu, namun khawatir pembayarannya tertunda. Ia
ingin mengadakan uang dengan segera tetapi tidak dengan cara demikian. Ia pun
berpikir keras, namun tidak kunjung mendapatkan jalan untuk itu. Yang bisa
dilakukan kini hanyalah menjual sepeda satu-satunya yang biasa dipakai untuk
berangkat ke tempat kerja vang berjarak sekitar 6 kilometer, Benarlah, akhirnya
diwujudkannya jalan pikiran itu. Tepat pada hari yang dijanjikan ia menyerahkan
uangnya. Dengan demikian ia menghimpun dua kebajikan: menepati janji dan
bersedekah.
Di kemudian hati sang ketua melihat bahwa
al-akh yang profesinya buruh tadi sering terlambat datang di majelis ta’lim
Isya’ Ia tidak mengetahui alasannya. dan jika bertanya pun tidak dijawabnya.
Akhirnya ia diberi tahu oleh salah seorang kawan dekatnya yang mengetahui duduk
persoalan. Ia memberitahu ketua bahwa al-akh tadi menjual sepedanya untuk
melunasi janji infaq pembangunan masjid. oleh karenanya, setiap pagi ia
berjalan kaki dan terlambat mengikuti pengajian. Mendengar ini terkejutlah sang
ketua dan para ikhwan yang lain. Mereka kemudian membuat keputusan untuk
mengganti sumbangan infaqnya. dan mengganti sepeda lamanya dengan sepeda yang
baru agar ia senantiasa mengenang balasan kesetiaannya pada janji.
Dengan jiwa semacam inilah, jiwa yang
memiliki ikatan kuat dengan para assabiqunal awwalun (para pendahulu) dari
kalangan tokoh-tokoh Islam yang menjadi mercusuar umat, fikrah Ikhwanul
Muslimin bangkit dan berkembang. Sukseslah berbagai proyek kerja dakwah yang
diembannya. Mereka adalah kaum fakir miskin yang dermawan, mereka sedikit
hartanya tetapi murah hati. Dengan kelangkaan harta benda yang dimiliki, mereka
berderma dengan sesuatu yang banyak, diberkatilah harta ini oleh Allah,
melimpahruahlah kebajikan yang diperoleh akhirnya.
Dengan demikian, mudah-mudahan saya telah
menyingkap beberapa hal yang masih samar di mata sebagian orang yang menuduh
bahwa di balik keberhasilan dakwah Ikhwan ada persekongkolan dengan berbagai
pihak dan ada sikap tunduk hadap kepentingan-kepentingan pribadi.
Namun-alhamdulillah- Ikhwan bersih dari itu semua.
Itulah beberapa baris tulisan yang berisi
sebagian kisah jihad Ikhwanul Muslimin secara operasional, yang kami paparkan
kepada orang-orang yang ingin menimbang bobot Ikhwan dengan standar yang biasa
dipakai oleh berbagai yayasan dan proyek sosial pada umumnya. Ikhwan berusaha
menjadikan lembaran-lembaran tulisan ini sebuah buku yang berisi data berbagai
kegiatan sosial yang ditunaikan dengan hati yang tulus karena Allah swt. Dengan
demikian, mudah-mudahan mereka berpikir kembali untuk memberikan dukungan
kepada jamaah itu, yang senantiasa menapaki jalannya menuju tujuan yang
diimpikan, yang hanya bersandar dan berharap kepada Tuhannya. masih ada
lembaran-lembaran lain yang akan kami sampaikan, insya Allah.
Mempersiapkan Generasi
(Dimuat oleh harian Ikhwanul Muslimin, Edisi
XVII, 20 Jumadil Ula 1353 H.)
Pada tulisan yang lalu Anda melihat bahwa
Jamaah Ikhwanul Muslimin adalah pelopor dakwah yang produktif di bidang
proyek-proyek sosialnya, seperti: pembangunan masjid, sekolah, yayasan, majelis
ta’lim, seminar-seminar, ceramah umum, dan forum diskusi. Pendeknya, proyek
Ikhwan memadukan antara ucapan dan tindakan.
Namun demikian, masyarakat mujahid, yang
menghadapi tantangan persoalan kontemporer dan berada di titik peralihan
peradaban, yang ingin membangun masa depannya di atas pondasi yang kokoh, yang
berusaha menjamin generasi mudanya dengan kesejahteraan dan kedamaian hidup,
yang tengah menuntut kembalinya kebenaran yang terampas dan harga diri yang
tercabik, membutuhkan bangunan yang lain dari sekadar bangunan sosial ini.
Ia sangat membutuhkan tegaknya bangunan
jiwa, bangunan akhlaq, dan bangunan pribadi generasi muda dengan mentalitas
kepeloporan yang benar untuk dapat mengatasi berbagai tantangan hidup di masa
depan.
Generasi muda adalah rahasia kehidupan umat
dan sumber mata air kebangkitannya. Sesungguhnya sejarah umat adalah sejarah
para tokoh yang dilahirkannya, yang memiliki mentalitas kuat dan hasrat nan
membara Kuat lemahnya umat sesungguhnya diukur dari sejauhmana kemampuan
‘rahim’ umat itu untuk melahirkan tokoh-tokoh yang memenuhi syarat sebagai
pelopor. Saya berkeyakinan -dan sejarah membuktikannya- bahwa satu orang
pelopor (saja) dapat membangun umat jika ia memiliki karakter kepeloporan yang
benar. Sebaliknya, ia mampu menghancurkan umat jika keadaan menuntut ia harus
melakukannya.
Sesungguhnya kehidupan umat itu bergerak
melalui berbagai tahapan, persis sebagaimana tahapan-tahapan kehidupan yang
dilalui oleh seseorang. Ada seseorang yang tumbuh berkembang dalam asuhan orang
tua yang bergelimang kemewahan, sehingga ia tidak pernah disibukkan oleh
berbagai persoalan hidup. Sementara yang lain tumbuh dalam situasi yang sulit;
kedua orang tuanya miskin dan lemah, sehingga ia tidak memiliki harapan akan
munculnya benderang fajar kehidupan di masa depan. Ia banyak berhadapan dengan
tuntutan hidup yang pelik yang datang dari segala penjuru. Mahasuci Allah yang
telah membagi-bagi nasib dan menciptakan ragam nuansa hidup, kepada umat
manusia.
Boleh jadi ada situasi di mana kita hidup di
tengah generasi yang tumbuh di tengah berbagai bangsa yang saling bertikai dan
menimpakan bencana pada sesamanya, dimana muncul slogan, “Siapa yang kuat,
dialah yang menang”.
Ada pula situasi di mana kita berhadapan
dengan masa peralihan peradaban yang dahsyat, di mana berbagai gelombang
pemikiran dan berbagai arus kepentingan menjungkirbalikkan umat manusia, baik
sebagai pribadi, masyarakat, organisasi-organisasi pemerintahan, dan lainnya.
Akal pikiran menjadi kacau balau. jiwa pun terguncang meradang, dan orang yang
beraqidah bersih pun kebingungan berhadapan dengan gelombang dahsyat
peradabannya. Ia meraba-raba untuk mencari jalan keluar, sementara rambu-rambu
kebenaran timbul tenggelam dan cahayanya pun meredup, bahkan nyaris tak
bersinar. Sementara itu di setiap ujung jalan berdiri para propagandis
kesesatan yang menyeru manusia menuju kegelapan malam yang pekat. Keadaan yang
demikian itu membuat kami tidak menemukan lagi kata-kata untuk menggambarkannya
secara lebih tepat selain dari “kacau”.
Demikian pula, ada saatnya di mana kita
harus menghadapi semua ini dan berjuang untuk menyelamatkan umat dari mara
bahaya yang mengepung dari seluruh penjuru.
Sesungguhnya umat yang dilingkupi oleh
situasi sebagaimana yang ada sekarang ini, yang hendak bangkit untuk suatu
kepentingan sebagaimana kepentingan kami, yang menghadapi berbagai tantangan
sebagaimana yang kami hadapi, tidak patut bersantai ria dan berkhayal belaka.
Sebaliknya, ia harus menyiapkan dirinya untuk memikul beban perjuangan berat di
perjalanan nan panjang, untuk menghadapi pertempuran antara hak dan batil,
antara maslahat dan mafsadat, antara pemilik kebenaran dan perampasnya, antara
peniti jalan yang lurus dan pengacaunya, antara para dai yang tulus di satu
sisi dari dai palsu di sisi lainnya. Ia harus memahami bahwa kata “perjuangan”
itu identik dengan kata “lelah” dan “sulit”. Sebaliknya, kata “samai” tidak
pernah sekalipun berdampingan dengan kata “jihad”.
Bagi umat, tidak ada bekal yang dapat
digunakan untuk menghadapi situasi yang buas ini kecuali hati yang sarat iman,
hasrat yang kuat dan kemauan yang keras, sikap murah hati dan kesediaan
berkorban, serta kesiapan terjun ke medan juang pada waktunya. Tanpa ini semua,
umat akan hancur, perjuangan senantiasa menuai kegagalan, dan nasib tak menentu
bakal menimpa generasinya.
Meskipun situasi yang kami hadapi demikian
pelik dan berat, sebagaimana Anda ketahui, namun jiwa kami tetaplah jiwa yang
lembut, sensitif, dan tenang. Demikian lembut dan sensitifnya, sehingga jika
kedua pipi ini diterpa hembusan angin sepoi, cukup membuatnya terluka, dan jika
ujung jari ini disentuh ujung kain sutera, cukup menjadikannya berdarah.
Sedangkan para pemuda dan pemudi kami, sebagai harapan masa depan dan gantungan
cita-cita, tetaplah sebagai generasi; yang nasib baik mereka merupakan
kebanggaan dan harga diri yang harus diperjuangkan. Meskipun untuk itu kami
harus mengorbankan kemerdekaan, kemuliaan, atau membayar dengan terampasnya.
hak-hak umat.
Kalian menyaksikan ironi pada diri para
pemuda yang lisannya fasih mengucapkan kata-kata segar dan di guratan wajahnya
terbesit air muka yang jernih dan berkilau, mengiba di depan pintu berbagai
kantor untuk melamar pekerjaan. Kalian menyaksikan mereka itu berjuang
mati-matian mencari koneksi kepada berbagai pihak untuk melicinkan jalan. Wahai
sahabatku, jika mereka telah memperoleh pekerjaan yang mereka impikan itu,
apakah Anda berpikir bahwa suatu hati mereka akan siap meninggalkannya. demi
harga diri atau kehormatannya, meskipun mereka sesungguhnya juga mengalami
penderitaan dan penindasan dalam bekerja?
Mentalitas kita -hari-hari ini- sungguh
membutuhkan pengobatan yang serius dan penyembuhan yang total. Kita memerlukan
pencairan bagi perasaan yang telah keras membeku; kita membutuhkan perbaikan
bagi akhlaq yang telah rusak binasa; dan kita juga membutuhkan penyadaran atas
penyakit bakhil yang telah demikian akut. Cita-cita besar yang menggelayuti
akal pikiran para dai pembaharu di satu sisi, dan problematika yang demikian
berat di sisi yang lain, menuntut kita untuk segera memperbaharui mentalitas
dan membangun jiwa kembali dengan bentuk bangunan yang bukan sekadar
sebagaimana yang pernah kita miliki; yang telah lapuk dimakan usia dan telah
lenyap ditelan berbagai tragedi. Tanpa proses ulang pembaharuan mentalitas dan
pembangunan jiwa ini kita tidak mungkin melangkah ke depan walau hanya
selangkah.
Jika kalian mengetahui semua ini dan
senantiasa sepakat dalam memahami bahwa standar ini adalah standar yang lebih
pas dan lebih detail untuk menimbang kadar kebangkitan umat maka ketahuilah
bahwa tujuan pertama yang digariskan oleh Ikhwanul Muslimin adalah tarbiyah
shahihah, yakni pembinaan umat untuk mengantarkannya menuju kepribadian yang
utama dan mentalitas yang luhur. Pembinaan –untuk membangun jiwa yang dinamis–
itu ditegakkan dalam rangka merebut kembali kemuliaan dan kejayaan umat dan
untuk memikul beban tanggung jawab di jalan yang mengantarkan kepada tujuan.
Setelah menyimak penjelasan ini, barangkali
kalian bertanya, ‘Apa saja sarana yang dipergunakan Ikhwanul Muslimin untuk
memperbaharui mentalitas dan meluruskan akhlaq mereka? Apakah Ikhwan pernah
mencoba menggunakan sarana tersebut? Dan sejauhmana keberhasilan percobaan
itu?”
Kami akan membahasnya pada uraian-uraian
berikut ini, insya Allah.
Menentukan Sarana Dan Menyandarkan Pada
Prinsip
(Dimuat oleh mingguan Ikhwanul Muslimin,
Edisi XVHI, 27 Jumadil Ula 1353 H.)
Engkau telah mengetahui wahai pembaca yang
budiman, bahwa Ikhwanul Muslimin mengemban misi utama pembinaan jiwa,
pembaharuan mental, pengokohan akhlaq, dan penumbuhan sikap kesatria yang
lurus. Inilah pondasi yang di atasnya bakal ditegakkan kebangkitan umat.
Mereka mencari tahu apa saja sarana untuk
itu dan bagaimana cara yang harus digunakan untuk sampai ke sana. Mereka tidak
mendapatkan kata jawaban yang lebih tepat daripada kata “agama”.
Agama itulah yang akan menghidupkan nurani,
membangkitkan perasaan, mengetuk hati, menjadi pengawas dan penjaga jiwa yang
tak pernah lalai, menjadi saksi yang tak pernah pura-pura, tak pernah
menyesatkan, dan tak pernah melupakan pemiliknya di waktu pagi maupun perang,
di tengah keramaian maupun ketika sendirian. Dia pula yang memberi ilham yang
mendorong seseorang berbuat kebajikan, yang menghardiknya dari perbuatan dosa,
yang menjauhkannya dari jalan yang menyesatkan, dan yang memberi rambu-rambu
untuk memahami jalan kebajikan dan jalan kejahatan.
“Apakah mereka mengira bahwa kami tidak
mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan
utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka.”
(Az-Zukhruf: 80)
Ia pula yang menghimpun berbagai nilai
keutamaan dan kemuliaan yang menyediakan untuk setiap keutamaan pahalanya dan
setiap kemuliaan balasannya, dan dia pulalah yang menyerukan aktivitas
pembersihan hati serta penyucian ruhani.
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang
menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
(Asy-Syams: 9-10)
Agama pula yang menyeru manusia kepada
pengorbanan di jalan kebenaran dan pembinaan akhlaq. Yang menjamin siapa saja
yang melakukannya dengan pahala yang sebesar-besarnya, yang memperhitungkan
kebajikan betapa pun kecilnya, dan memperhitungkan kejahatan betapa pun
remehnya. Ia yang mengganti kehancuran dalam membela kebenaran dengan keabadian
dan menghidupkan kembali kematian di medan jihad.
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang
yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya
dengan mendapatkan rezki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah
yang diberikan-Nya kepada mereka,” (Ali Imran: 169-170)
“Kami akan memasang timbangan yang tepat
Pada hari Kiamat maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika
amalan itu hanya sebesar biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya, Dan
cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan,” (Al-Anbiya’: 47)
Ia pula yang sanggup menebus segala
kemegahan duniawi ini dari setiap orang dengan harga berupa kebahagiaan yang
memenuhi jiwanya dan menenteramkan hatinya. Ialah anugerah rahmat, kasih
sayang, dan ridha Allah swt.
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa
yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (An-Nahl: 96)
Ia menghimpun semua keutamaan tersebut, lalu
mengiringi fitrah hati, dan jiwa. setelah itu meleburlah masing-masing
keutamaan kepada yang lainnya, menyusup ke sela-sela molekul ruhani, memandu
akal pikiran, dan akhirnya bersatu-padu tanpa berpisah lagi. Perpaduan inilah
yang membangkitkan rasa suka cita para petani di ladangnya dan para buruh di
tempat kerjanya. Ia menjadikan si kecil mengerti dan menikmati ilmu pengetahuan
di meja perpustakaannya; ia menjadikan si cendekia merasa lezat dengan studi
dan telaahnya dan ia pula yang menerbangkan benak si filosof dengan
perenungannya. Apakah Anda melihat sesuatu yang dapat menguasai jiwa manusia
lebih kuat daripada agama? Apakah Anda membaca dalam sejarah umat manusia suatu
faktor yang paling dahsyat pengaruhnya pada kehidupan masyarakat daripada
agama? Dan apakah Anda menyaksikan suatu dampak dari kehidupan para filosof dan
cendekiawan sehebat apa yang dimiliki para nabi dan rasul?
Sekali-kali tidak! Karena agama adalah
seberkas cahaya Allah yang menembus jiwa, yang menerangi kegelapannya, dan
mencerahkan cakrawalanya. Jika ia telah tertanam kuat di dalam jiwa, semuanya
bakal disiapkan untuk menjadi tebusannya.
“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak,
saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan,
perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan rumah-rumah tinggal yang kamu
sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari)
berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’
Dan Allah tidak memberi petunjuk Kepada orang-orang fasik.” (At-Taubah: 24)
Dia pulalah yang melambung tinggi bersama
kesakralan dan keagungannya melampaui segala sesuatu; ia berada di atas segenap
makhluk dan jauh dari arus taklid buta. Dengan begitulah ia menyatukan hati,
menghimpun kata dan memutus setiap bentuk perselisihan dan pertikaian dari
akar-akarnya, sehingga terciptalah kekuatan dan ketegaran untuk membimbing
kalbu menuju haribaan Allah swt, semata seiring dengan itu, ia memalingkan jiwa
dari pengaruh daya tarik duniawi dan kenikmatan syahwati -dengan hasrat dan
amalnya- untuk menuju martabat para mukhlisin yang setia, yang segenap
aktivitasnya hanya diperuntukkan bagi Allah swt.
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang
agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu dan apa yang Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa
yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.”
(Asy-Syura: 13)
Dia pula yang mengantarkan kesetiaan hati
menuju syahadah (mati syahid) dan menjadikannya sebagai kewajiban yang akan
dimintai tanggung jawabnya di hadapan Allah. Dia menjadikan syahadah itu
sebagai kendaraan yang membawanya ke naungan ilahi, serta menjadikannya bukti
kepahlawanan yang total dan kejujuran yang sejati.
“Di antara orang-orang mukmin itu ada
orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. maka di
antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada pula yang
menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya), supaya Allah
memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya.”
(Al-Ahzab: 23-24)
Dia tempat terhimpunnya pemikiran yang sehat
dan tempat berseminya cita-cita yang luhur. Ia adalah simbol harapan bagi
pribadi, masyarakat, bangsa, dan dunia seluruhnya.
“Kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi
Rasul-Nya, dan bagi orang-orang yang beriman, tetapi orang-orang munafik tidak
mengetahuinya.” (Al-Munafiqun: 8)
Sebagian orang berpikir untuk memperbarui
masyarakat dengan perangkat ilmu pengetahuan, sebagian lainnya berpendapat
dengan perangkat seni dan tradisi, dan sebagian lainnya menganggap cukup dengan
pembinaan olah raga. Semua itu bisa jadi benar dan bisa jadi salah, dalam
konteks makna yang terbatas. Saat ini bukanlah saatnya untuk memberi tanggapan,
kritik, dan penilaian atasnya. Akan tetapi satu hal yang ingin saya katakan,
Ikhwanul Muslimin melihat bahwa sarana yang paling tepat untuk memperbaiki
kepribadian umat adalah agama Di samping itu ia melihat pula bahwa agama Islam
telah menghimpun kebaikan seluruh perangkat di atas.
Sedangkan menyangkut perangkat operasional
pertama untuk menyucikan jiwa dan memperbarui ruhani, ia adalah “Pembatasan
sarana dan pemilihan pondasi”. Di atas landasan inilah aqidah Ikhwanul Muslimin
dibangun, dengan merujuk kepada Kitab Allah dan Sunah Rasul-Nya, tanpa keluar
darinya sedikit pun. Dan Ikhwan mewajibkan dirinya untuk menjaga, mewujudkan,
dan loyal kepadanya. Saya berkeyakinan bahwa inilah sarana operasional untuk
pembinaan jiwa dan pelurusan akhlaq. Dalam kaitan ini, saya mengingatkan kepada
setiap akh muslim bahwa adalah kewajibannya untuk menjaga aqidah dan bekerja
untuk mewujudkan kandungannya.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah:
119)
Kedudukan Shalat
(Dimuat oleh mingguan Ikhwanul Muslimin,
Edisi XXI, 18 Jumadits Tsaniyah 1353 H.)
Engkau telah mengetahui bahwa Ikhwanul
Muslimin mengenal Islam sebagai sarana paling mulia untuk membersihkan jiwa,
memperbarui ruhani, dan menyucikan akhlaq. Dari cahayanyalah mereka mengambil
prinsip untuk membangun aqidah. Anda pun sangat memahami bahwa kedudukan shalat
dalam Islam bagaikan kedudukan kepala pada jasad. Shalat adalah pilar Islam
yang kekal abadi. Ia juga penyejuk jiwa bagi yang menegakkannya, penenang hati,
dan penghubung antara hamba dengan Tuhannya. Ia adalah tangga yang mengantarkan
ruh orang-orang yang hatinya sarat dengan mahabbah menuju ketinggian yang tiada
batasnya. Dialah taman suci yang menghimpun berbagai unsur kebahagiaan, baik di
alam ghaib maupun di alam nyata. Dialah kilatan cahaya bagi orang yang ingin
menerangi jiwanya, dan dialah kelezatan bagi orang yang ingin menikmatinya.
Apakah Anda menyaksikan orang yang begitu asyik dalam kekhusyukannya
berhubungan dengan Tuhan, sebagaimana asyiknya orang yang tengah ruku’ dan
sujud di tengah malam gulita dengan gelisah karena khawatir akan nasibnya di
akhirat, dengan berharap-harap cemas akan rahmat-Nya? Di saat mata semua orang
telah terpejam dan pikiran pun telah hanyut bersama tidur pulasnya, sebagian
orang justru asyik berduaan dengan kekasihnya, sehingga sang arif bijak bestari
pun bergumam:
Begadangnya mata ini Rabbi
jika bukan untuk wajah-Mu
adalah sia-sia
Dan isak tangisnya
jika bukan lantaran kehilangan diri-Mu ilahi
adalah kebatilan belaka
jika bukan untuk wajah-Mu
adalah sia-sia
Dan isak tangisnya
jika bukan lantaran kehilangan diri-Mu ilahi
adalah kebatilan belaka
Wahai saudaraku, saat Anda berada dalam
situasi demikian, itu lebih berarti bagi hati dan jiwamu daripada seribu kata
nasihat, seribu paragraf kisah, dan sejuta forum ceramah. Cobalah, Anda pasti
merasakannya. Al-Qur’an mengisyaratkan hal ini dalam ayatnya,
“Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia
adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur di waktu
malam. Dan di akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah),” (Adz-Dzariyat:
16-18)
Sedangkan pahala mereka pun tersembunyi.
“Seorang pun tidak mengetahui apa yang
disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan
pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
(AS-Sajadah: 17)
Tidakkah amal mereka juga tersembunyi?
Bukankah ‘bersembunyi’ di depan khalayak juga merupakan sesuatu yang mungkin
terjadi? Dan mungkinkah suatu kenikmatan dirasakan oleh mereka yang tengah
dimabuk cinta selain di saat bersembunyi juga? Adakah balasan kebajikan kecuali
kebajikan juga? Banyak yang menceritakan bahwa Abul Qasim Al-Junaid mimpi
meninggal dunia. Lalu ditanyakan kepadanya, ‘Apa yang Allah lakukan kepadamu?”
Ia menjawab, “Sia-sialah segala bentuk amal, kata-kata, dan ilmu pengetahuan.
Tiada yang memberi manfaat kepadaku kecuali beberapa rakaat yang saya tunaikan
di tengah malam.”
Jangan heran, wahai pembaca yang budiman.
Memang tiada yang memberi manfaat lebih baik bagi hati, selain kesunyian yang
merasuki wilayah pemikiran. Tiada yang menyucikan jiwa lebih utama, selain
beberapa rakaat yang ditunaikan secara khusyuk yang menghapus dosa, membasuh
noda dan aib, menanamkan cahaya iman dalam kalbu, dan menenteramkan dada dengan
sejuknya embun keyakinan.
Kaum muslimin di masa kini bermacam-macam
dalam menyikapi shalat. Ada di antara mereka yang menyia-nyiakan dan
meninggalkannya. Jika Anda mengingatkan sesuatu tentangnya atau mengajak mereka
untuk melakukannya, mereka berpaling dengan congkak dan menganggapnya enteng,
padahal di sisi Allah ia adalah sesuatu yang besar. Saya tidak ingin mengatakan
bahwa sebagian mereka melarang dan merendahkan orang yang menunaikan shalat
sembari mengatakan bahwa pekerjaan itu sudah ketinggalan zaman dan kuno. Engkau
pasti mendengar dari mereka dan orang-orang semacamnya kata-kata yang
menyakitkan hati dan aneh, seolah-olah mereka tidak mendengar ayat Allah,
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang
shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (Al-Ma’un: 4-5)
Anda pasti lebih heran ketika mengetahui
bahwa sebagian orang yang bekerja di lahan dakwah dan duduk di lembaga
pengadilan Islam ada yang mengabaikan urusan shalat dan menganggapnya remeh.
Seakan-akan Nabi saw. belum pernah berkata bahwa shalat itu adalah tiang agama
dari ia merupakan kewajiban yang harus ditegakkan oleh kaum muslimin. Mereka
seolah-olah belum pernah mendengar sabda Nabi saw.,
“Tiada jarak antara seorang hamba dengan
kekufuran kecuali meninggalkan shalat. Apabila meninggalkannya maka ia syiri
Ibnu Majah dan Suyuthi menyebutnya sebagai shahih dalam mi’ush Shaghir)
Kami tidak merasa perlu berusaha meyakinkan
mereka dengan penjelasan yang jelas, dan rinci. Cukuplah kami memohon kepada
Allah agar memberikan hidayah dan taufiq-Nya kepadanya. Setelah itu kita
berhadapan dengan dua kelompok yang lain dari kalangan kaum muslimin.
Adapun kalangan mayoritas, mereka menunaikan
shalat secara refleks dan mekanis, sekadar menerima warisan dari para pendahulu
mereka. Mereka melakukan kebiasaan itu sepanjang waktu tanpa mengetahui rahasia
di baliknya dan tanpa merasakan dampaknya. Cukuplah bagi mereka dapat
mengucapkan bacaan-bacaan shalat sembari melakukan gerakan-gerakannya, sesudah
itu pergilah ia dengan perasaan puas bahwa mereka telah menunaikan kewajiban
menegakkan shalat. Terhindarlah mereka dari azab dan berhaklah atas pahala.
Ini adalah khayalan yang tidak akan terwujud
sama sekali, karena ucapan dan tindakan shalat itu hanyalah kerangka fisik yang
jiwanya adalah kepahaman, pilarnya adalah kekhusyukan, dan buahnya adalah
pengaruh riil. Dalam suatu riwayat hadits disebutkan, “Shalat itu ketenangan,
ketawadhu’an, dan rintihan…” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i)
Oleh karenanya, Anda menyaksikan kebanyakan
orang tidak dapat mengambil manfaat dari shalat mereka dan tidak dapat mencegah
dirinya dari kemunkaran. Padahal, seandainya saja shalat itu disempurnakan, ia
akan membuahkan kesucian jiwa dan kebersihan hati, serta menjauhkan pelakunya
dari dosa dan kemunkaran.
Sedangkan kelompok kedua, jumlahnya sedikit,
tetapi mereka memahami rahasia shalat dengan baik. Ia sungguh-Sungguh dalam
menunaikan dan gigih dalam usaha menyempurnakannya. Ia shalat dengan penuh rasa
khusyuk Penuh renungan, ketenangan, dan keluar dari dunia shalatnya dengan
merasakan nikmat ibadah dan ketaatan, serta limpahan cahaya Allah yang tiada
tara. Hal itu tampak pada mereka yang jiwanya telah sampai kepada ma’rifat
kepada-Nya, Dalam sebuah hadits dikatakan,
“Barangsiapa mengerjakan shalat pada
waktunya dengan menyempurnakan wudhunya, menyempurnakan ruku’ sujud dan
khusyuknya, ia (shalatnya) melesat ke angkasa dengan warna putih Cemerlang
sambil berkata, ‘Semoga Allah menjagamu sebagaimana engkau menjagaku.’ Dan
barangsiapa mengerjakan shalat tidak pada waktunya serta tidak menyempurnakan
Wudhunya, tidak menyempurnakan ruku’, sujud, dan khusyuknya, ia melesat ke
angkasa dalam warna hitam pekat dan berkata, ‘Semoga Allah menyia-nyiakanmu
sebagaimana engkau menyia-nyiakanku.’ Sehingga tatkala sampai di tempat yang
Allah tentukan, ia dilipat sebagaimana kain lalu dipukulkan ke wajahnya (orang
yang shalat).” (HR. Thabrani dalam AI-Ausath dari Anas HR. Tayalisi dan Baihaqi
dalam Asy-Syu’ab dari Ubadah bin Shamit)
Oleh karenanya, derajat manusia itu beragam
dan tingkat pahalanya pun berbeda-beda ‘ meskipun sama-sama menunaikan shalat
yang bentuk, gerakan dan ucapannya satu. oleh karenanya, para salafush ’shalih
juga sangat bersungguh-sungguh menghadirkan hati dalam shalat mereka dan
menyempurnakan khusyuk dalam ibadahnya. Demikian itu pula sifat yang
dinisbatkan kepada orang-orang beriman,
“Adalah orang-orang yang khusyuk dalam
shalatnya.” (Al-Mukminun: 2)
Ikhwanul Muslimin mengetahui hal ini dan
senantiasa berusaha berjalan bersamanya. salah satu fenomena operasional paling
menonjol di kalangan mereka adalah bagaimana mereka memperbaiki shalatnya.
Mereka beranggapan bahwa dengan itulah mereka melewati jalan yang paling pintas
menuju pembaharuan jiwa dan penyucian ruhani.
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar ” (Al-Baqarah:
153)
Wahai saudaraku muslim, Anda paham sekarang,
dan jadilah teladan ihsan dalam shalatmu, serta yakinlah bahwa langkah pertama
sebelum segala aktivitas kita adalah memperbaiki shalat.
Zakat
(Dimuat oleh mingguan Ikhwanul Muslimin,
Edisi XXII, 25 jumadits Tsaniyah 1353 H.)
Shalat dan zakat dijadikan oleh Allah swt.
sebagai ‘pagar betis’ bagi agama dan syariat. Allah swt. membandingkan antara
keduanya di banyak tempat dalam Al-Qur’an Al-Karim sebagai isyarat betapa agung
kedudukan keduanya. Shalat adalah media penghubung antara Anda dengan Allah, di
samping juga antara Anda dengan makhluk yang lain. Bukankah di alam wujud ini
nada sesuatu selain Khaliq dan makhluk? Jika Anda telah berhasil menjalin
hubungan baik dengan keduanya, pada hakikatnya Anda telah mendapatkan kebaikan
yang paripurna dan puncak kebahagiaan. Bila shalat merupakan penyuci jiwa dan
pembersih ruhani, maka zakat adalah penyuci harta dan pembersih penghasilan.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (At-Taubah: 103)
Allah swt. juga menjadikan shalat dan zakat
sebagai fenomena keimanan serta bukti sehatnya aqidah. Al-Qur’an
mengisyaratkain hal ini dalam ayat-Nya,
“Jika mereka bertobat, mendirikan shalat,
dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.”
(At-Taubah:11)
Ayat ini memberikan pemahaman bahwa barangsiapa
cacat dalam menjalankan kewajiban shalat dan zakat, ia bukan saudara seagama,
Boleh jadi inilah yang dipahami oleh Abu Bakar r.a. ketika memerangi orang yang
tidak menunaikan zakat dan disetujui juga oleh seluruh sahabat Rasulullah saw.
Orang-orang yang tidak mau menyerahkan zakat dianggapnya murtad.
Dalam riwayat Sittah, dari Abu Hurairah ra.
berkata, “Tatkala Nabi saw. wafat, kafirlah orang yang kafir dari masyarakat
Arab. Berkatalah Umar kepada Abu Bakar ra “Bagaimana Anda memerangi orang, padahal
Rasulullah saw. pernah bersabda, “Aku diutus untuk memerangi manusia sehingga
mereka mengatakan ‘tidak ada Tuhan kecuali Allah.’ Barangsiapa mengatakannya.
maka ia terlindung dariku harta dan Jiwanya kecuali dengan haknya. Dan
perhitungannya -setelah itu- ada di sisi Allah swt.” Berkata Abu Bakar ra.
“Demi Allah sungguh aku akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dan
zakat. Shalat adalah hak Allah sedangkan zakat adalah hak harta. Demi Allah,
jika mereka menolak untuk memberikan kepadaku sebuah tali kuda yang dahulu
pernah diberikannya kepada Rasulullah saw, niscaya mereka akan aku perangi
karena penolakannya, ” Umar ra. berkata, “Demi Allah, ketika saya melihat bahwa
Allah swt. telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memutuskan perang, saya memahami
bahwa ia adalah benar belaka.’”
Cermatilah bagaimana Abu Hurairah ra.
menyebut orang yang menolak untuk memberikan zakat dengan kata-kata “kafirlah
orang yang kafir”, dan bagaimana pula Abu Bakar melihat bahwa penolakan zakat
hakikatnya sama dengan penghancuran agama, sehingga pelakunya harus diperangi
meskipun ia telah bersyahadat , dan bagaimana pula Umar ra. mengakui pendapat
Abu Bakar sebagai pendapat yang benar. Allah dan Rasul-Nya telah memberi
ancaman kepada orang yang menolak untuk memberikan zakatnya dengan ancaman yang
keras. Allah swt. berfirman,
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan
perak serta tidak membelanjakannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada
mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih pada hari dipanaskan emas
perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan
punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, ‘Inilah harta bendamu yang kamu
simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang
kamu simpan itu.” (At-Taubah: 34-35)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw.
bersabda, “Barangsiapa dianugerahi Allah harta lalu ia tidak menunaikan
kewajiban zakatnya, pada hari kiamat harta itu akan dijadikan ular berbisa. ia
lalu melingkari pemilik harta tadi dan mengangkat mulutnya sembari berkata,
Akulah harta dan simpananmu.”‘
Pada hadits lain disebutkan,
“Celakalah orang-orang kaya, karena sebagian
dari orang-orang fakir pada hari Kiamat berkata, ‘Wahai Tuhan kami, mereka
menzhalimi hak-hak kami yang telah Engkau jadikan untuk kami.’ Allah swt.
menjawab, ‘Demi keagungan dan kehormatan-Ku, sungguh Kudekatkan kalian dan
Kujauhkan mereka.”‘
Yang demikian bisa terjadi pada hari Kiamat,
karena zakat memang merupakan sistem yang disyariatkan, pilar dari aktivitas
yang bermanfaat, dan alat koreksi bagi pribadi yang bakhil. Ia melatih sikap
dermawan, mengokohkan rasa kasih sayang, menyeru hati untuk berhimpun,
memusnahkan rasa dengki, menyerukan saling bahu dan saling bergantung dalam
kebaikan, menjauhkan akar-akar keburukan dan kerusakan, serta memadamkan api
kecemburuan. Setiap orang akan melindungi orang yang berjasa padanya.
Karenanya, jika Anda dapat berbuat baik -seberapa pun- maka berbuatlah.
Pengelolaan zakat adalah salah satu tugas
penguasa, Ia harus bekerja untuk mengumpulkan, mendata, dan membagikannya
kepada para mustahiq (orang yang berhak) yang telah Allah swt. tetapkan. Kalau
saja pemerintah-pemerintah Islam memiliki kepedulian terhadap urusan zakat ini,
niscaya mereka dapat memiliki kekayaan yang baik dan dapat menggantikan
berbagai pungutan pajak yang zhalim. Dengan demikian, zakat juga berarti
pemenuhan kewajiban yang telah hilang dan salah satu rukun Islam yang selama
ini disia-siakan. Adapun jika pemerintah-pemerintah Islam melalaikan pengurusan
zakat ini; baik pengumpulan maupun distribusinya, maka setiap pribadi harus
menghidupkan syiar ini dan menegakkan kembali kewajiban ini serta mengeluarkan
kembali hak Allah untuk para hambanya. Barangsiapa menyia-nyiakannya, maka ia
berdosa dan balasan yang pedih menantinya dari sisi Tuhannya.
Kalian menyaksikan banyak kaum muslimin
melalaikan hak Allah ini pada harta mereka; mereka tidak mengeluarkan bagian
kaum fakir miskin dari penghasilannya, yang dengan itu sebenarnya- mereka
memutus hubungan, memperbanyak tindakan maksiat, mengotori jiwa, dan
menumbuhsuburkan sikap kecemburuan sosial dan kedengkian.
Ikhwanul Muslimin menyaksikan itu semua,
karenanya mereka ingin menjadi pelopor utama yang menyuguhkan teladan
operasional dalam menghidupkan rukun (zakat) ini. Mereka memulai dari diri
mereka sendiri; mereka keluarkan zakat hartanya untuk mensucikan jiwanya. Jika
mereka berhasil dalam hal ini, tentu mereka akan menjadi penghujat bagi
orang-orang yang menyia-nyiakannya, menjadi hujjah bagi orang-orang yang
menginginkan tegaknya, dan menjadi himbauan bagi orang-orang yang duduk-duduk
saja. Ikhwan di Barambal, dengan koordinasi dari Propinsi Daqahliyah, telah
lebih dahulu melakukannya dengan baik. Ikhwan di sana mengumpulkan dan
membagikan zakat sebagai-mana termaktub dalam ayat,
“Sedekah (zakat) itu hanya diperuntukkan
bagi orang-orang fakir dan miskin.”
Dahulu, saya sempat merasa cemas melihat
cerai-berainya persatuan dan simpang-siurnya kata-kata, karena pada tubuh kaum
muslimin sekarang ini terdapat suatu perilaku yang dapat mengakibatkan
renggangnya persatuan mereka, khususnya jika sudah berurusan dengan harta dan
materi. Nah, dapat dibayangkan jika yang diurus adalah proyek yang garapan
utamanya adalah materi itu sendiri. Dahulu saya begitu cemas dengan Ikhwan di
Barambal akan kebakhilan orang-orang kaya dan fitnah yang sering dilontarkan
oleh orang-orang yang pekerjaannya senantiasa mencari-cari aib, meski pada
sesuatu yang sempurna sekalipun. Mereka mencela dan mengatakan para sukarelawan
sebagai orang riya’, mereka mencela dan mengatakan panitia pengumpul zakat
sebagai orang yang memiliki kepentingan pribadi. Sedangkan para pengambil jatah
zakat tampak begitu tamak, yang berpikir seandainya harta yang terkumpul itu
semua adalah miliknya, yang orang lain tidak punya hak sama sekali. Tradisi
yang telah turun-temurun membuat semua penghuni rumah yang masih berpikir ingin
mengeluarkan zakat lebih memilih untuk membaginya bagi diri sendiri tanpa
mengindahkan orang lain, meskipun mereka tahu bahwa orang lain pun
membutuhkannya.
Dahulu saya begitu khawatir terhadap Ikhwan
di Barambal akan munculnya kendala ini yang di masyarakat kita tampak demikian
jelas. Sungguh sangat menyedihkan dan patut disesalkan. Namun Ikhwan dan
masyarakat umumnya di Barambal ternyata dapat menunjukkan perilaku yang jauh
dari kesan tersebut. Dengan kehadiran dan aktivitas mereka, hati semua orang
menjadi tenang dan perasaan menjadi bahagia. Mereka dapat meyakinkan manusia
bahwa kesucian niat dan kepercayaan, jika telah menghiasai jiwa mereka, niscaya
akan dapat mengatasi berbagai kendala.
Orang-orang kaya Barambal tidak sekali-kali
menolak menunaikan hak Allah ini saat mereka diseru untuk berzakat, sementara
orang-orang miskinnya jauh dari tamak kepada hak-hak saudaranya yang lain. Apa
yang telah mereka dapatkan dari harta zakat yang terkumpul itu telah membuat
hati mereka bahagia sembari lisannya memanjatkan doa kebaikan untuk para
muzakki dan pengelola zakatnya.
Ikhwan di Barambal telah melakukan aktivitas
pengelolaan zakat yang menutup kemungkinan munculnya berbagai tuduhan negatif
dan fitnah. Mereka membuat suatu kepanitiaan khusus yang bekerja mendata para
mustahiq zakat dengan sumpah untuk tidak main-main dan tidak membocorkan
rahasia serta aib mereka. Selain itu dibentuk pula kepanitiaan lain yang bekerja
secara khusus melakukan check and recheck terhadap data yang masuk. Kemudian
dibentuk kepanitiaan ketiga yang bekerja menemukan kadar zakat yang harus
diterima oleh masing-masing mustahiq, dan panitia keempat adalah kepanitiaan
yang tugasnya membagikan zakat. Sistem pengelolaan yang detail ini tak pelak
lagi memunculkan rasa takjub sekaligus bahagia dari siapa pun yang
menyaksikannya, bekerja sama dengannya, atau mengamati dampak positif yang
ditimbulkannya, khususnya di masyarakat Barambal dan tetangganya. Setelah itu,
masyarakat Barambal mampu mengikis kebiasaan yang tidak baik dalam Pengelolaan
zakat; mereka mengikuti petunjuk yang benar dan merangsang kerja sama, serta
menghadirkan suatu teladan yang baik, sebagai realisasi dari yang selama ini
kami impikan.
Wahai pembaca, setelah adanya penjelasan
ini, tidakkah Anda melihat bahwa Ikhwanul Muslimin adalah para aktivis?
Dan tidakkah Ikhwanul Muslimin melihat pada
yang demikian itu suatu perwujudan dari apa yang selama ini menjadi
angan-angan, dan -sebentar lagi kami akan mendengar berita- bahwa mereka akan
bekerja lagi mengikuti langkah ini di tengah masyarakat lain yang aktif?
“Maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat,
dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah
sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.” (Al-Hajj: 78)
Jihad Adalah Kehormatan Kami
(Dimuat di mingguan Ikhwanul Muslimin, No.
24,9 Rajab 1353H.)
Telah lewat sepekan ini, sementara saya
belum sempat menyampaikan isi hati kepada para pembaca yang budiman. Isi hati
telah mengharu biru emosi dan mengetuk-ngetuk pintu hati karena ingin segera
disampaikan; yakni tentang perjuangan Ikhwanul Muslimin, Saya tidak bermaksud
menutupi kenyataan dari pandangan para pembaca yang budiman, yang tentu saja
mengecewakan dan menusuk perasaan mereka. Lagi pula, saya ingin menunjukkan
kepada orang tentang aktivitas dan perjuangan kami. Allah swt. telah mengetahui
bahwa Ikhwanul Muslimin telah dan terus bekerja dengan hanya mengharap ridha
Allah, tidak menunggu ucapan terima kasih dan balasan dari seorang pun. Mereka
yakin bahwa ketika mereka bekerja, mereka tengah melakukan sebagian dari
kewajiban yang dituntut Islam dari putra-putranya, meskipun masih banyak
kekurangannya.
Kami ingin menyampaikan kepada orang tentang
dakwah kami, menjelaskan kepada mereka batasan orientasi kami, dan menyingkap
di hadapan mereka hakikat kami. Semua itu dengan harapan kiranya kami
mendapatkan para pendukung kebajikan dan pembimbing umat -yang siap bekerjasama
dengan kami lalu berlipat gandalah kemanfaatan, semakin dekatlah jarak menuju
tujuan, dan terwujudlah apa-apa yang kita impikan bersama; menyangkut perbaikan
secara menyeluruh dan penyelamatan segera. Sesungguhnya, jika hati demi hati
berlalu tanpa diisi oleh umat dengan aktivitas yang berorientasi kebangkitan
dari ’selimut’-nya, niscaya jarak tempuh pun akan kian jauh saja. Sungguh, pada
dakwah Ikhwan -jika saja orang mengetahui ada penyelamatan; pada manhaj mereka
–jika saja umat mencermatinya– ada keberhasilan; pada perjuangan mereka –jika saja
orang memberi dukungan– ada penggapaian cita-cita. Tiada kemenangan kecuali
dari sisi Allah swt., Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Kemudian, disebutkan dalam suatu riwayat
yang shahih, yang kurang lebih isinya bahwa Mu’adz ra. berjalan bersama Rasulullah
saw., lalu beliau berkata, “Kalau Anda mau wahai Mu’adz, saya akan menceritakan
tentang kepala dan mahkota urusan ini. Kepala urusan ini adalah engkau
bersyahadat bahwa tiada Tuhan kecuali Allah ’seorang’ diri, tiada sekutu
bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Sedangkan pilar urusan ini
adalah menegakkan shalat dan menunaikan zakat, sedangkan mahkotanya adalah
jihad di jalan Allah. Saya diutus semata-mata untuk memerangi manusia sehingga
mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan bersyahadat bahwa tiada Tuhan
kecuali Allah ’seorang’ diri, tiada sekutu bagi-Nya dan bahwa Muhammad adalah
Rasulullah. Jika mereka melakukan ini, niscaya mereka terlindung serta
dilindungi darah harta mereka, kecuali dengan haknya, dan -setelah itu
-hitungannya dikembalikan kepada Allah. Demi Dzat yang Muhammad ada di
tangan-Nya, tidak ada pekerjaan yang menjadikan pucatnya wajah dan berdebunya
kaki dengan hanya mengharapkan surga setelah shalat wajib, kecuali jihad di
jalan Allah. Dan tiada yang lebih berat timbangan seorang hamba kecuali
penunggang kuda yang gugur di jalan Allah.”
Itulah definisi Nabi saw. tentang Islam, dan
beliau adalah yang paling tahu tentangnya. Adapun Ikhwanul Muslimin, ia
tidaklah menggiring umat manusia kepada selain Islam dan manhajnya, tidak pula
menapaki sistem, kecuali sistem Islam.
Saya telah banyak berbicara tentang mereka
menyangkut shalat dan zakat, serta apa-apa yang mereka inginkan dari diri
mereka dan dari orang lain dengannya.
Kini saya berbicara kepadamu tentang
Ikhwanul Muslimin yang berjihad dan apa-apa yang mereka inginkan -dari diri
mereka dan orang lain- dari jihad di jalan Allah, yang ia adalah mahkota Islam.
Sebagian dari jihad dalam Islam wahai
saudaraku tercinta adalah munculnya emosi yang dinamis dan kuat, yang mengaliri
gelora cinta untuk meraih kembali kehormatan dan kejayaan Islam; yang
membisikkan gejolak rindu untuk menggapai kekuasaan dan kekuatannya; yang
menangisi duka lara dan meratapi nasib kaum muslimin yang lemah dan hina; yang
menyalakan api duka cita atas realitas yang tidak diridhai oleh Allah,
Muhammad, dan tidak juga oleh jiwa dan nurani yang muslim dan “Barangsiapa
tidak peduli terhadap urusan umat Islam, maka ia bukan golongan mereka.”
Begitulah sebuah hadits menuturkan.
Dengan demikian
kemuraman hati berangsur meleleh
bila padanya bersemayam Islam dan iman
kemuraman hati berangsur meleleh
bila padanya bersemayam Islam dan iman
Sebagian dari jihad dalam Islam wahai
saudaraku tercinta, adalah menjadikan duka cita atas kondisi yang mengitari itu
sebagai pemicu dalam berpikir secara sungguh-sungguh bagaimana mendapatkan jalan
keluar; dalam merenung panjang dan mendalam bagaimana memilih jalan-jalan amal
dan mencari cara-cara penyelesaian. Barangkali -dengan begitu- Anda akan
mendapati di tengah umat orang yang siap menunaikannya dan -secara tiba-tiba-
mendapatkan penyelamatan. Niat seseorang lebih baik daripada amalnya, dan Allah
swt. Mahatahu terhadap kedipan mata serta apa yang disembunyikan oleh hati.
Sebagian dari jihad dalam Islam wahai
saudaraku tercinta, adalah Anda menyisihkan dari sebagian waktu, sebagian
harta, dan sebagian tuntutan pribadimu untuk kebaikan Islam dan putra-putra
kaum muslimin. Jika Anda seorang pemimpin, maka berinfaqlah untuk memenuhi
tuntutan kepemimpinanmu; Jika Anda seorang prajurit, maka bantulah para dai
dengan aktivitasmu. Masing-masing dari mereka mendapatkan kebaikannya dan Allah
memberi pahala untuk semuanya.
Allah swt. berfirman,
Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah
dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut
menyertai Rasulullah (Pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih
mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah
karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan di jalan Allah,
dan tidak pula menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang
kafir, dan tidak menimbulkan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan
dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shalih.
Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik, dan
mereka tidak menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak pula yang besar dan
tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal shalih
pula), karena Allah akan memberi balasan kepada mereka dengan balasan yang
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (At-Taubah: 120-121)
Sebagian dari jihad dalam Islam wahai
saudaraku tercinta, adalah Anda memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang
munkar, menaati Allah, mengikuti Rasul-Nya, mengamalkan Kitab-Nya, serta.
memberi nasihat kepada para pemimpin Islam dan masyarakatnya, dengan hikmah dan
mau’izhah hasanah, Suatu kaum jika telah meninggalkan sikap saling menasihati,
mereka akan menjadi hina, dan jika meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar, mereka
menjadi terlantar.
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani
Israel dengan lisan Daud, dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan
mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak
melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amar buruklah apa
yang mereka selalu perbuat itu.” (Al-Maidah: 78-79)
Sebagian dari jihad dalam Islam wahai
saudaraku tercinta Anda menjadi prajurit Allah; Anda ‘melindungi’-Nya dengan
jiwa dan harta Anda. Untuk-Nya, jangan sisakan milik Anda sedikit pun. Jika
kejayaan dan kehormatan Islam terancam dan gema seruan kebangkitan diserukan,
Anda harus menjadi orang yang pertama kali menyambut seruan itu dan menjadi
orang pertama yang maju ke medan jihad.
“Sesungguhnya Allah membeli dari kaum
mukminin, jiwa dan harta mereka, dengan surga untuk mereka.” (At-Taubah: 111)
Sebuah hadits menyatakan,
“Barangsiapa mati dalam keadaan belum pernah
perang dan belum pernah terbetik dalam dirinya untuk itu, maka ia mati di atas
bagian dari kemunafikan.” (HR. Muslim, Abu Daud, dan Nasa’i)
Dengan demikian itulah penyebaran Islam,
hingga ia merambah seluruh permukaan bumi.
Sebagian dari jihad dalam Islam wahai
saudaraku tercinta, Anda bekerja demi menegakkan timbangan keadilan, melakukan
perbaikan urusan seluruh makhluk, meluruskan tindak kezhaliman, dan mencegah
tangan pelakunya seberapa pun kekuatan dan kekuasaannya. Dalam hadits riwayat
Abu Sa’id Al-Khudri ra., Nabi saw. bersabda, “Seutama-utama jihad adalah
kata-kata benar di hadapan penguasa yang zhalim.” (HR. Abu Daud dan Bukhari)
Dari Jabir ra. berkata, Rasulullah saw.
bersabda, “Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang
yang berkata lantang di hadapan penguasa yang zhalim memerintah dari
mencegahnya, akhirnya dibunuhlah ia.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shahih)
Sebagian dari jihad fi sabilillah wahai
saudaraku tercinta, -jika Anda tidak dapat melakukan semua itu-hendaklah Anda
memberikan cinta Anda kepada para mujahid dari relung hati yang paling dalam
dan memberi masukan nasihat kepada mereka dengan buah pikiran Anda yang jernih.
Dengan begitu, Allah swt. telah mencatat untuk Anda pahala dan telah melepaskan
Anda dari tanggung jawab. janganlah sekali-kali Anda menjadi orang selainnya,
sehingga hati Anda akan dikunci dan dituntut dengan sepedih-pedih siksa.
“Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad)
atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit, dan atas orang-orang
yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku
ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikit pun untuk
mengalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi maha
Penyayang. Dan tiada (pula dosa atas orang-orang yang apabila mereka datang
kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, ‘Aku tidak
memperoleh kendaraan untuk membawamu,’ lalu mereka kembali, sedang mata mereka
bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang
akan mereka nafkahkan. Sesungguhnya jalan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap
orang-orang yang meminta izin kepadamu, padahal mereka itu orang-orang kaya.
Mereka rela berada bersama-sama orang-orang yang tidak ikut berperang dan Allah
telah mengunci mati hati mereka, maka mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan
mereka).” (At-Taubah: 91-93)
Demikian inilah sebagian dari
tingkatan-tingkatan jihad dalam Islam. Lalu di manakah posisi Ikhwanul Muslimin
di antara tingkatan-tingkatan ini?
Ada pun jika mereka tengah larut dalam duka
lara menyaksikan derita yang menimpa kaum muslimin sekarang ini, maka Allah
mengetahui bahwa salah satu dari mereka –karena larutnya dalam perasaan duka
cita– ada yang sampai tidak bisa lagi memberikan kelembutan perasaan dan kasih
sayangnya kepada keluarga maupun saudara-saudaranya, tidak dapat lagi menikmati
keindahan dan kenikmatan yang ada di alam nyata ini.
Adapun jika mereka tengah berada di jalan
pembebasan, maka Allah mengetahui bahwa tiada sebuah fikrah pun yang dapat
diterima oleh mereka; tiada suatu langkah pun yang dapat memuaskan jiwa mereka;
tiada suatu urusan pun yang menyibukkan pikiran mereka sebagaimana urusan yang
tengah memenuhi kepala dan dadanya ini; dengan sepenuh perasaan dan
perenungannya.
Adapun jika mereka adalah orang-orang yang
tengah berjuang di jalan ini dengan waktu dan harta bendanya, maka cukuplah
Anda mengunjungi tempat perkumpulan mereka, niscaya Anda akan mendapati
mata-mata sayu karena banyak begadang, wajah-wajah pucat karena kelelahan,
badan-badan layu karena dilelahkan oleh semangat iman dan aqidahnya, serta
pemuda-pemuda yang menghabiskan waktunya hingga lebih dari tengah malam dengan
serius duduk di balik meja-meja kantor mereka, sementara anak-anak muda
sebayanya tengah asyik dengan canda ria, obrolan dan kenikmatan duniawinya.
Memang, betapa banyak mata yang begadang demi mata yang lelap tertidur. Namun
demikian, kita serahkan pahalanya kepada Allah dan kita tidak merasa memberi
kenikmatan dengannya.
“Sebenarnya Allah Dialah yang melimpahkan
nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah
orang-orang yang benar.” (Al-Hujurat: 17)
Jika Anda bertanya tentang harta yang
diinfakkan untuk dakwah mereka, tidaklah ia kecuali harta yang sedikit saja
jumlahnya yang mereka berikan dengan sepenuh keridhaan dan lapang dada.
Sungguh, mereka memuji Allah karena mereka dapat meningkatkan pengorbanan,
berlapang dada melepaskan harta dari jenis kebutuhan sekunder menuju sikap
ekonomis dalam menggunakan harta dari jenis kebutuhan primer, untuk selanjutnya
menginfakkan yang sekundernya di jalan Allah.
“Dan siapa yang dipelihara dari Kekikiran
dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (AI-Hasyr: 9)
Alangkah bahagianya kita jika Allah swt.
menerima itu semua dari kita, karena ia memang dari-Nya dan untuk-Nya.
Ada pun jika mereka adalah orang-orang yang
beramar ma’ruf dan nahi munkar, maka mereka memang telah memulai dari diri mereka
sendiri lalu keluarganya, rumah tangganya, saudara-saudaranya, dan kemudian
handai taulannya. Bersama dengan itu mereka bekali diri dengan kesabaran dan
kearifan. Tidakkah Anda menyaksikan penerbitan mereka bahwa ia adalah salah
satu dari langkah amar ma’ruf nahi munkar. Tidakkah Anda menyaksikan
pidato-pidato dan kata-kata mereka bahwa ia adalah salah satu jalan pembebasan
ini?
Adapun tingkatan jihad selain ini, maka
jamaahlah yang harus menunaikannya. Ikhwanul Muslimin generasi pertama pun
tidak menyia-nyiakan potensinya untuk terlibat, karena mereka demikian memahami
posisinya di hadapan agama ini dan mengetahui pula bahwa Nabi saw. bersabda,
“Barangsiapa menemui Allah tanpa tanda bahwa
dirinya telah berjihad, ia menemui Allah dalam keadaan cacat (sumbing).” (HR.
Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Mereka memohon kepada Allah agar
memperkenankan mereka bertemu dengan-Nya dalam keadaan tidak cacat. Allah swt.
telah berfirman,
“Tidaklah kamu dibebani melainkan dengan
kewajiban kamu sendiri. kobarkanlah semangat para mukminin (untuk berperang).”
(An-Nisa: 84)
Dengan demikian, kami berharap bahwa kami
telah menyampaikan berita tentang jamaah dan semoga suara ini telah benar-benar
sampai ke telinga mereka, kemudian terdapatlah di sana ‘lahan subur’ untuk
melahirkan tambahan tenaga pekerja dan siap bergabung dengan barisan para
mujahid
“Dan orang-orang yang berjihad untuk
(mencari keridhaan) kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan kami Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat baik.”
(Al-Ankabut: 69)
Hak Al-Qur’an
(Dimuat oleh mingguan Ikhwanul Muslimin, No
26, 23 Rajab 1353 H.)
Saya tidak melihat Sesuatu yang seharusnya
selalu dijaga namun hilang, atau sesuatu yang seharusnya menjadi pokok
persoalan tetapi diabaikan, sebagaimana Al-Qur’an Al-Karim. pada hal Allah swt.
menurunkannya sebagai kitab dengan kandungan aturan yang tegas, sebagai
undang-undang yang integral, dan sebagai pilar bagi urusan agama dan dunia ini.
“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an)
kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan
yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji.” (Fushilat: 42)
Saya berkeyakinan bahwa tujuan paling
penting dari diturunkannya Al-Qur’an yang wajib ditunaikan oleh umat Islam ada
tiga:
Pertama, memperbanyak tilawah dengan niat
taqarrub kepada Allah.
Kedua, menjadikannya sebagai sumber hukum agama yang senantiasa dikaji dan digali, serta dijadikan rujukan.
Ketiga, menjadikannya sumber undang-undang dunia, yang harus dipetik nilai-nilainya dan diterapkan dalam realitas kehidupan.
Kedua, menjadikannya sebagai sumber hukum agama yang senantiasa dikaji dan digali, serta dijadikan rujukan.
Ketiga, menjadikannya sumber undang-undang dunia, yang harus dipetik nilai-nilainya dan diterapkan dalam realitas kehidupan.
Itulah beberapa tujuan yang terpenting dari
diturunkannya Al-Qur’an dan diutusnya Nabi, Ia tinggalkan Al-Qur’an untuk kita
sebagai pemberi nasihat, pemberi peringatan, sebagai hukum, keadilan, dan
sebagai timbangan yang adil. Para salafush shalih memahami benar tujuan ini.
Mereka pun menerapkannya dengan sebaik-baik penerapan; ada di antara mereka
yang selesai membacanya dalam tiga hati; ada pula yang menyelesaikannya dalam
tujuh hati; ada lagi yang mengkhatamkannya kurang dari itu atau lebih darinya.
Sebagian dari mereka lalai dari membaca Al-Qur’an, ia memandang mushaf lalu
membacanya beberapa ayat sembari bergumam, ‘Agar saya tidak termasuk orang yang
meninggalkan Al-Qur’an.”
Dengan begitu, Al-Qur’an menjadi cahaya hati
mereka, tradisi ibadah yang senantiasa dibacanya siang dan malam. Semoga Allah
swt. meridhai khalifah ketiga (Utsman bin Affan ra.) yang tidak melupakan
mushaf, sementara para pembunuh berada di pintunya dan pedang telah menempel di
lehernya.
Ia rengkuh Kitabullah di awal malam
dan berjumpa dengan maut di penghujungnya
Semoga Allah merahmati orang yang dalam ratapannya tidak
menemukan kata-kata yang paling baik kecuali:
Mereka berkorban dengan sujudnya yang panjang
dengan itu dilalui malam bersama tasbih dan Qur’an.
dan berjumpa dengan maut di penghujungnya
Semoga Allah merahmati orang yang dalam ratapannya tidak
menemukan kata-kata yang paling baik kecuali:
Mereka berkorban dengan sujudnya yang panjang
dengan itu dilalui malam bersama tasbih dan Qur’an.
Jika Anda menelaah kembali perjalanan hidup
mereka, niscaya Anda tidak mendapati seorang pun dari mereka meninggalkan
Kitabullah atau tidak membaca Al-Qur’an selama sepekan, apalagi sebulan, atau
lebih lama dari itu. Saya tidak ingin berpanjang kata dalam menceritakan apa
yang saya pelajari dan mengambil hikmah dari buku sejarah dan Sirah mereka.
Mereka jika ingin mengambil kesimpulan hukum
agama Allah, maka Al-Qur’anlah yang pertama kali menjadi rujukan. Lagi pula,
apalagi yang pertama jika bukan Kitab Allah? Anda juga menyaksikan Rasulullah
saw. tatkala membenarkan Mu’adz bin Jabal saat bertanya kepadanya, “Dengan apa
Anda menghukum?” Ia menjawab, “Dengan Kitabullah.” Ia memulai dengannya lalu
dengan Sunah yang suci Dan Anda telah mengetahui bahwa Umar ra. melarang banyak
sahabat untuk berbicara kepada orang yang baru masuk Islam dengan hadits-hadits
dan berbagai kejadian yang ada sebelum dipahamkan dahulu dengan Kitabullah
pertama kali; mereka dikenalkan dengan hukum halal dan haram. Engkau juga
menyaksikan para tokoh tabi’in dan pengikut tabi’in yang baik-baik, semisal
Sa’id bin Musayyib, mereka tidak memberi izin kepada orang untuk menghimpun
fatwa-fatwanya dikarenakan khawatir orang akan berpaling dari Kitabullah kepada
kata-kata mereka. Sa’id bin Musayyib pernah merobek-robek lembaran kertas dari
orang yang mencatat fatwa-fatwanya sembari berkata, “Engkau mengambil
kata-kataku sementara meninggalkan Kitabullah. Engkau pergi lalu berkata ‘Kata
Sa’id, kata Sa’id?’ Berpegang teguhlah kepada Kitabullah kemudian Sunah Rasul-Nya.”
Tidakkah Anda melihat dari kenyataan ini
bahwa salafush shalih. ra. menjadikan Kitabullah sumber dari segala sumber yang
dari sana mereka mengambil kesimpulan hukum bagi agama Allah.
Tidaklah ada sistem hidup di dunia -bagi
mereka- kecuali harus selaras dengan apa-apa yang diperintahkan Allah dan
tunduk patuh kepada apa yang diturunkan oleh-Nya; hak-hak yang harus
ditunaikan, hukum-hukum yang harus diterapkan, dan perintah-perintah yang harus
dikerjakan, tanpa pengabaian, penghilangan, maupun komentar. Demikianlah masa
lalu, masa di mana Islam adalah bangunan sistem yang segar bugar dan buah agama
yang telah ranum. Masa di mana umat Islam memahami dengan baik hukum-hukum
agamanya dan fasih membaca Al-Qur’an sebagaimana diajarkan oleh Allah dan Nabi-Nya.
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan
kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan
supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran,” (Shad: 29)
Lalu berubahlah negeri-negeri itu,
berterbanganlah kekuatan jiwa Qur’an dari akal pikiran dan benak manusia, dan
merasuklah sebagai gantinya polusi kebatilan; dan tiba-tiba saja mereka sudah
berada di suatu lembah sedangkan Al-Qur’an ada di lembah lain sementara jarak
antara dua lembah itu sejauh timur dan barat.
Ia berlalu menuju timur sedangkan Anda
menuju barat
betapa jauhnya jarak antara timur dan barat
betapa jauhnya jarak antara timur dan barat
Adapun ibadah dengan tilawah Qur’an di waktu
malam dan siang, sedikit sekali di antara kita yang memperhatikan dan
mengamalkannya. Sedangkan para pelaku ibadah yang lain, yang beribadah dengan
cara yang mereka buat sendiri atau ditetapkan oleh para mursyidnya; semisal
amalan wirid, hizib, dan salawat, kesibukan amal yang dengannya mereka
meninggalkan Kitabullah kecuali sekedar tilawah, menghafal, dan mengulang-ulangnya,
kami tidak menganggap haram bacaan wirid yang benar dan tidak pula melarang
orang mengamalkan doa-doa dan hizib, sepanjang hal itu tidak bertentangan
dengan syariah. Namun demikian, kami ingin menegaskan bahwa Kitabullah itu
lebih utama. Pertama, seleksilah dari hizib-hizib itu yang kiranya dapat
menghubungkan hatimu dengan-Nya atau mengikatkan ruhanimu dengan cahaya-Nya,
lalu berdzikir Setelah itu dengan cara-cara yang sesuai dengan aturan agama.
Adapun jika Anda pinggirkan Al-Qur’an dengan menjadikan ibadahmu hanya
melaksanakan cara-cara yang Anda tetapkan sendiri atau ditetapkan oleh orang
lain, maka itu berarti Anda telah meninggalkan Al-Qur’an dan mengabaikan
hak-haknya.
Adapun tentang ‘menyimpulkan hukum’ dari
Al-Qur’an, banyak orang yang jatuh dalam kebodohan. mereka meletakkan hijab
antara dirinya dengan Qur’an dengan hijab yang tebal, yang menjadikan mereka
lebih puas dan lebih asyik dengan kesimpulan-kesimpulan atau komentar-komentar
saja. Hasrat mereka untuk menyelam lebih dalam bersama sesuatu yang lebih
berharga amatlah kecil.
Apalagi mengenai penerapan hukum-hukum yang
bersifat duniawi, orang telah menggantikannya dengan selain Qur’an. Mereka
meletakkan -sebagai gantinya- prinsip-prinsip asing yang dibangun oleh Prancis
dan Romawi untuk dijadikan sumber undang-undang dan dasar hukumnya. Dengan
demikian, terabaikanlah hukum-hukum Kitabullah di kalangan kaum muslimin,
padahal di sanalah Allah swt. memberi pelajaran kepada mereka tentang segenap
kebaikan, jika saja mereka mendengarkan. Setelah itu cukuplah bagi kaum
muslimin, Al-Qur’an hanya menjadi mantera-mantera untuk penyembuhan, hiasan di
perkumpulan-perkumpulan, serta pengiring bagi resepsi pesta maupun upacara
kematian. Taruhlah mereka menjadikan Al-Qur’an seperti itu, namun kalau saja
dibarengi dengan penunaian hak-haknya, tidaklah mengapa. Akan tetapi, Anda
menyaksikan-bersama dengan itu- bahwa mereka acuh tak acuh dan mengalihkan
perhatiannya kepada canda ria dan asyik berbincang sesamanya. Padahal Allah
swt. berfirman,
“Jika dibacakan Al-Qur’an maka dengarkan dan
perhatikanlah, mudah-mudahan kalian mendapatkan rahmat.” (Al-A’raf: 204)
Dahulu Al-Qur’an adalah hiasan shalat, kini
hanya menjadi hiasan resepsi; dahulu ia adalah timbangan keadilan dalam
mahkamah, kini hanya menjadi pengiring senda gurau dan hari-hari besar; dahulu
ia adalah media pelengkap pidato dan nasihat, kini hanya menjadi jimat dan
mantera-mantera. jadi, berlebihankah jika saya katakan bahwa “tidak kulihat
sesuatu yang harusnya dijaga namun justru hilang sebagaimana Kitabullah?”
Sungguh, suatu kontradiksi yang aneh terjadi
pada kita dalam menyikapi Al-Qur’an. Kita mengagungkannya tanpa ragu, kita
membelanya tanpa ragu, dan kita taqarrub kepada Allah dengannya juga tanpa
ragu. Namun wahai manusia, kalian salah langkah dalam mengagungkannya, kalian
justru menjauh dari jalan pembelaan terhadapnya, dan kalian sesat dalam
melakukan taqarrub kepada Allah dengannya.
Bukankah berarti menyia-nyiakan Kitabullah
manakala Anda melihat tempat-tempat yang dari sana Al-Qur’an menelurkan
sejumlah besar pejuang pilihan, kini menjadi tempat menyepi bagi orang-orang
yang menghafalkannya dan dengan alasan itu mereka udzur dari medan perjuangan?
Bukankah berarti menyia-nyiakan Al-Qur’an
manakala Anda menyaksikan mahasiswa masuk di Universitas Al-Azhar, kemudian
menghafal Al-Qur’an hanya karena ia merupakan syarat untuk diterimanya di sana?
Ketika ia keluar dari sana, serta merta ia melupakannya, karena Al-Qur’an tidak
lagi menjadi syarat penerimaan ijazah kelulusannya. Anda menyaksikan, jika ia
menjadi imam bagi orang banyak, ia banyak membuat kesalahan; jika berceramah,
ia bersandar kepada para fuqaha’ di kampung; Jika menjadi pembela atau hakim,
ia kembali kepada mushaf untuk “mengoreksi” beberapa ayat yang akan dijadikan
rujukan.
Sungguh, kita telah benar-benar
menyia-nyiakan Al-Qur’an. Seolah-olah di tangan kita ada kitab warisan yang
tidak bisa memberi pengaruh apa pun dan tidak pula ditegakkan kandungannya.
Inilah hakikatnya, pangkal dari segala musibah yang menimpa kita.
Jika Anda mengetahui ini wahai pembaca yang
budiman, ketahuilah bahwa Ikhwanul Muslimin berupaya dengan sungguh-sungguh
untuk mengembalikan mereka kepada Kitabullah; mereka beribadah dengan
tilawahnya, mengambil cahayanya –dalam memahami kata-kata para pemimpin umat- dengan
ayat-ayatnya, meminta kepada semua orang untuk menerapkan hukum-hukumnya, dan
menyeru mereka bersama-sama untuk mewujudkan tujuan ini, yang itu adalah
semulia-mulia tujuan seorang muslim dalam hidupnya.
Bagi Allahlah segala urusan, baik dahulu
maupun sekarang.
Manhaj Ikhwan Dan Timbangannya
(Dimuat oleh mingguan Ikhwanul Muslimin, No.
27,30 Rajab 1353 H.)
Jika Anda mengkaji kembali sejarah
kebangkitan berbagai bangsa, baik di Barat maupun di Timur, dahulu maupun
sekarang, Anda akan menjumpai kenyamanan bahwa para pelaku kebangkitan dapat
menuai sukses karena memiliki manhaj tertentu; yang menjadi pijakan operasional
dan tujuan perjuangannya Manhaj ini diletakkan oleh para agen kebangkitan
tersebut, lalu diperjuangkan perwujudannya. Mereka bekerja sepanjang
kekuatannya masih ada dan selama hayat masih dikandung badan. Jika cita-cita
itu belum dapat diraih sementara masa hidupnya di dunia yang pendek ini telah
berakhir, tampillah generasi penerusnya untuk meneruskan bekerja sesuai dengan
manhaj yang telah diletakkan. Mereka memulai dari titik di mana generasi
pendahulu berhenti; mereka tidak memutus pencapaian yang telah diraih, tidak
menghancurkan komponen-komponen yang telah dibangun, tidak mendongkel pondasi
yang telah diletakkan, dan tidak pula memporak-perandakan apa-apa yang telah
dirakit. Kalau mereka tidak menambahkan pada tinggalan para pendahulu dengan
yang lebih baik, paling tidak mereka bertahan dengan produk yang telah ada
dengan menjaganya sekuat tenaga. Kalau mereka tidak mengikuti jejak pendahulu
dengan menambah tingkat bangunan lalu melangkah bersama masyarakat menuju ke
tujuan yang diinginkan, paling tidak mereka sadar dan mengundurkan diri untuk
kemudian menyerahkan tongkat estafet perjuangan kepada yang lain. Begitulah
seterusnya, sampai cita- cita dan impian dapat terwujud. Dengan begitu,
sempurnalah kebangkitan, berbuahlah perjuangan panjang, dan sampailah
masyarakat ke tujuan yang telah dicanangkan.
Kaji ulanglah berbagai institusi di tengah
masyarakat, Anda akan melihat apa yang saya katakan ini dengan sejelas-jelasnya
bahwa kunci keberhasilan dalam setiap kebangkitan adalah tersedianya manhaj dan
orang-orang yang siap bekerja mengikuti petunjuknya (manhaj itu), tanpa bosan
dan tanpa surut. ini sangat jelas terlihat pada khithah yang dilalui oleh
dakwah Islam periode awal. Allah telah meletakkan untuknya manhaj yang di
atasnya berlalulah dakwah bersama kaum muslimin masa lalu dengan sirriyahnya,
kemudian jahriyah, kemudian pengorbanan di jalannya, kemudian hijrah menuju
tempat di mana hati-hati yang menerima berada dan jiwa-jiwa yang siap bercokol,
kemudian ukhuwah antara jiwa-jiwa ini, kemudian pengokohan ikatan iman di dada,
kemudian perjuangan total dan pengasingan diri dari kebatilan menuju kebenaran.
Inilah Abu Bakar ra. Ia menginginkan segera
hijrah dari Makkah menuju Madinah, namun Rasulullah saw. menyuruhnya untuk
menunggu sampai datang izin dari Allah swt. untuk itu. Tatkala khithah yang
pertama dari manhaj dakwah ini telah sempurna, yakni tatkala Rasulullah saw.
telah berhasil menerapkan syariatnya, Allah swt. menurunkan firman-Nya.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam
itu menjadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)
Kemudian datanglah -setelah Rasulullah saw.
-para sahabat dan tabi’in yang memindahkan percontohan ideal dan sempurna ini
dari jazirah Arab ke berbagai wilayah di dunia, agar kalimah Allah itulah yang
tertinggi dan “agar tidak ada lagi fitrah dan (sehingga) agama itu hanya milik
Allah.” (Al-Baqarah: 193)
Jika Anda layangkan ingatanmu pada sejarah
firqah-firqah Islam dan peristiwa-peristiwa sebelumnya, lalu tegaknya daulah
Abbasiyah di Timur dan kebangkitan negeri-negeri modern benua Eropa, seperti:
Perancis, Italia, juga Rusia, dan Turki, baik pada periode awalnya (yakni
periode penyatuan dan penanaman pondasi negara) maupun pada periode ini (yakni
periode pembentukan prinsip-prinsip dasar dan penyebaran pandangannya), niscaya
Anda akan melihat bahwa semua itu tunduk di bawah sebuah manhaj yang jelas
khithahnya, yang dapat mengantarkan kepada suatu tujuan yang bisa
diperhitungkan dan dijadikan orientasi bagi perjalanan umat.
Wahai saudaraku, saya yakin bahwa semua
revolusi sepanjang sejarah dan semua sejarah kebangkitan pada suatu masyarakat
selalu berjalan sesuai dengan undang-undang ini, meski kebangkitan’ agama yang
dipelopori para nabi dan rasul. Hanya saja, kebangkitan yang terakhir ini
manhajnya digariskan oleh Allah swt., Rasul, dan orang-orang setelahnya memberi
bimbingan kepada kaumnya untuk menapaki khithah manhaj ini, langkah demi
langkah, pada waktunya yang tepat, lalu didukunglah mereka untuk meraih
kemenangan dari sisi-Nya. Dengan itu, kebangkitan pasti terjadi.
“Allah telah menetapkan, ‘Aku dan
rasul-rasul-Ku pasti menang. ‘Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.”
(Al-Mujadilah: 21)
Bagaimana mungkin kekeliruan akan datang
jika peletak manhaj adalah Dzat Yang Mahatahu, sedangkan pelaksananya adalah
orang yang terpelihara dari kekeliruan dan terjaga dari kesalahan, serta
dibekali dengan taufiq, dan kemenangannya dijamin oleh Allah? Dari itulah maka
kenabian ini merupakan rahmat bagi semesta alam.
Tentang kata-kata ini, Para pembaca akan
terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok orang yang mengkaji sejarah
umat dan tahapan-tahapan kebangkitannya ‘ ia pasti meyakini sepenuhnya. Kedua,
kelompok orang yang tidak memiliki kesempatan untuk ini. Jika mau, pelajarilah
agar mereka tahu bahwa saya tidak berkata kecuali benar adanya. Tidaklah saya
menginginkan kecuali perbaikan, sebisa yang saya lakukan
Semua pembahasan di atas menceritakan
kebangkitan yang wajar (sesuai dengan sunnatullah). Sedangkan kebangkitan kita,
apakah ia juga akan terjadi sesuai dengan sunnatullah dalam alam dan kehidupan
sosial ini? Itulah yang saya ragu. Saya mencatat bahwa kita memiliki watak
tergesa-gesa dan mudah terpengaruh serta emosional. juga watak-watak negatif
lain, baik sosial maupun non sosial, yang menjadikan kebangkitan kita akan
terjadi secara tiba-tiba dan langsung menguat seiring dengan kuatnya pengaruh
waktu, lalu menurun dan akhirnya lenyap seperti tak terjadi apa-apa. Jika saja
tujuan perjuangan kita dipahami orang banyak, saya masih yakin akan adanya dua
faktor yang menyertai pemahaman tersebut. Pertama, sarana-sarananya tidak
dikenal dan tidak tertentu, bahkan mungkin dipahami secara kontradiktif oleh
masing-masing mereka dan kita tidak merasakannya. Kedua, terputusnya hubungan
secara total antara generasi pendahulu dan generasi penerus, Mungkin generasi
pendahulu baru sampai di pertengahan jalan, namun generasi berikutnya tidak
meneruskannya karena terputus tadi. Mereka bahkan memulai kembali dari awal
yang terkadang bisa juga mencapai hasil sebagaimana yang dicapai oleh para
pendahulunya, namun terkadang juga kurang darinya atau bisa juga lebih banyak.
Yang penting, umat tidak pernah sampai kepada tujuan akhir, karena pekerjaan
individual itu sangat terbatas bila dibanding dengan usia kebangkitan dan umur
umat. Kalau ada pikiran bahwa satu orang dapat mewujudkan seluruh keinginan
umat, itu adalah khayalan dan tipuan emosi belaka. Setiap pekerja harus
menurunkan kadar emosinya agar ia bisa mengambil manfaat dari apa yang
dikerjakan pendahulunya.
Ini sekadar pemaparan realitas yang memang
terjadi, Setelah itu, saya ingin mengatakan bahwa Ikhwanul Muslimin memiliki
manhaj yang jelas, yang mereka berjalan di atasnya, yang menimbang diri mereka
dengannya, dan mengetahui pula –sekali-kali di mana posisi mereka di hadapan
manhaj ini. Lalu tiba-tiba Anda bertanya kepada mereka tentang dasar manhaj ini
secara teoritis “apakah itu?”
Saya akan menjawabnya dengan jawaban
terus-terang dan tuntas bahwa ia adalah kaidah-kaidah dan dasar yang
didatangkan oleh Al-Qur’an Al-Karim. Jika Anda bertanya tentang sarana dan
khithah kerjanya, saya menjawab dengan terus-terang juga bahwa ia adalah sarana
dan khithah warisan Rasulullah saw. Dan tidaklah baik akhir urusan umat ini,
kecuali dengan kebaikan yang ada pada generasi awalnya.
Dengan uraian-uraian ini, usailah serial
global mengenai Ikhwanul Muslimin yang dinamis. Saya berharap bahwa ia
berpengaruh bagi para pembaca yang budiman, kemudian memberi dukungan kepada
mereka yang siap mempersembahkan segalanya. di jalan Allah dan dakwah, serta
bergabung dengan mereka untuk memberikan sahamnya lebih banyak dalam menghadapi
kebangkitan yang wajar ini, yang pekerjanya setiap hari menuai kemenangan batu.
Jika tidak mengantarkannya kepada kemerdekaan, paling tidak mengantarkannya
kepada generasi berikutnya, berkat kegigihan perjuangannya, insya Allah.
‘Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka
Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan menilai pekerjaanmu
itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang ghaib dan
yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.’”
(At-Taubah: 105)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar